Detak-detik lika liku sepanjang lorong altar ilmu Eropa (2): Teka-teki sulit bernama rezeki

2:34 AM zakiul fahmi van jailani van hamzah van abdullah 0 Comments

    Sepertinya sudah tidak ada harapan lagi bagiku untuk bertahan disini di Belanda. Sudah beberapa bulan sejak menyandang gelar Master of Geo-Information Science, aku belum mendapatkan kerja. Puluhan lamaran kerja telah tersebar dan tetap saja nihil hasilnya.
    Tentu saja dengan mudahnya aku bisa pulang ke Indonesia, tebar pesona sebagai lulusan luar negeri dan menikmati hidup dengan tabungan Euro ku yang jika di konversikan ke rupiah bisa ongkang-ongkang kaki selama 5 tahun selagi menumpang di rumah orang tua. Atau bisa juga membuka usaha makanan di negeri dengan populasi manusia yang banyak itu, bekerja menjadi dosen di universitas lokal, atau sekadar menjadi pengajar bahasa inggris sambil mencoba-coba peruntungan menjadi Aparatur Sipil Negara (baca: PNS).
    Tapi ada satu yang mengganjal dalam fikiranku tentang semua kemungkinan-kemungkinan tersebut: jalannya sudah ketebak. Lah, bukannya itu justru lebih enak? Tidak bagiku, karena aku setuju dengan kata-kata Andrea Hirata dalam Edensor nya:

Aku mendamba kehidupan dengan kemungkinan-kemungkinan yang bereaksi satu sama lain seperti benturan molekul uranium: meletup tak terduga-duga, menyerap, mengikat, mengganda, berkembang, terurai, dan berpencar ke arah yang mengejutkan.
 
    Namun bagiku, pelaku utama nya adalah ustad Salim A. Fillah yang telah 'meracuniku' dengan sebuah sudut pandang unik dalam menjawab teka-teki sulit bernama rezeki. Rumus rezeki ustad Salim tentang rezeki itu lebih kurang seperti ini:

"Jika hakikat rezeki itu datang dari Allah yang Maha Kaya (Al-Ghaniyyu), dan jika dalam surat At-Talaq bahwa Allah menjanjikan rezeki akan datang dari arah yang tak disangka-sangka kepada orang yang bertaqwa, maka profesi yang sudah terjamin rezekinya setiap bulan itu tidak dianjurkan untuk ditapaki jalannya bagi mereka yang hendak merasakan cinta sepenuhnya dari Allah yang Maha Kaya tersebut"

Oleh karena itu, aku memutuskan untuk menetap. Dan benar saja, keputusan ini membawaku pada satu skenario Tuhan yang tak pernah kusangka. Salah satu keputusan terbaik yang pernah aku lakukan.

#    #    #

    Sejujurnya, ada beberapa perusahaan yang tertarik dengan profilku dan mengajak aku berproses ke tahapan selanjutnya. Yang menarik dari tahapan selanjutnya adalah bukan sesi wawancara, tapi sebuah tes kompetensi. Ini merupakan pengalaman pertama bagiku.
    Kesempatan pertama datang dari sebuah perusahaan penyedia informasi Coronavirus menggunakan data spasial. Mereka menghubungiku baru sejak tiga minggu dari hari kelulusanku. Perusahaan tersebut bernama Uppermoor BV yang berpusat di kota Utrecht. Mereka membuat peta persebaran kasus Covid-19 yang bisa dilihat disini: https://www.coronalocatie.nl.
Pengguna dapat melihat informasi persebaran Covid-19 sejauh 2,5 km dari lokasi yang dipilih dalam wilayah Belanda dalam seminggu terakhir di www.coronalocatie.nl
    
    Singkat cerita, Uppermoor BV mendapatkan 15 lamaran pekerjaan dari seluruh dunia dan salah satunya adalah aku. Dan mereka tertarik untuk memberikan kesempatan bagiku untuk menyelesaikan sebuah tes dengan studi kasus membuat layanan peta yang serupa, tapi untuk negara Jerman. Hmmm. Menarik. Kataku pada diriku sendiri: siapa takut?!
   Kami disediakan beberapa open data untuk membuat layanan peta seperti itu. Data pertama berisi tentang data harian kasus baru Covid-19 di setiap kota di Jerman. Data kedua berisi grid populasi jerman. Tugas yang diberikan adalah membuat peta heatmap yang dinamis yang dapat menunjukkan kontraksi persebaran Covid-19 selama 14 hari berturut-turut di bulan November 2020. Tantangannya adalah, ada data yang tidak diberikan dan dalam data data yang disediakan, ada data yang sengaja dihilangkan. Butuh 4 hari bagiku untuk menyelesaikan tugas yang diberikan mereka. Berikut hasil peta heatmap yang kukerjakan yang menunjukkan rata-rata kasus baru Covid-19 di Jerman mulai dari tanggal 1 sampai tanggal 15 November (Anda bisa melihat petanya perlahan berubah setiap tanggalnya): 
    Dan kabar baiknya, dari 15 pelamar dari seluruh dunia, hanya 3 (tiga) orang yang mengerjakan tugas yang diberikan. Oleh karena itu, Uppermoor B.V tertarik mewawancaraiku secara online. Aku senang bukan kepalang. Wawancara dilaksanakan dan aku bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka dengan bahasa inggris yang baik dan benar. Ada dua orang yang mewawancaraiku, satu anak muda, dan satu lagi sudah sesepuh. Mereka berdua ternyata alumni program master yang sama yang kuambil di kampusku. Anak muda itu ternyata mempunyai supervisor magang yang sama denganku dulu. Dan kalau si bapak yang sudah sesepuh itu, ternyata anaknya sekarang masih menempuh studi di kampus Wageningen. Tampaknya, aku tak perlu menunggu lama untuk mendapatkan pekerjaan yang layak, ya kan? Tidak!
    Jika saja aku diterima oleh Uppermoor B.V, tentu saja tidak ada tulisan ini haha. Sayangnya, dari 3 orang yang mengumpulkan tugas studi kasus yang diberikan, aku berada di peringkat ke-2. Wajar saja bagi mereka untuk mengambil satu yang terbaik saja, karena mereka adalah startup baru dan sedang merintis sebuah usaha baru. Pun begitu, mereka berjanji padaku di tiga bulan pertama pada tahun 2021, mereka akan menghubungiku lagi jika mereka memerlukan tenaga tambahan.
    Hampir saja aku mendapatkan kesempatan pertama, tapi tetap saja pada akhirnya: gagal!

#    #    #
    Beberapa kesempatan lain menghampiri ku, namun tidak ada satupun yang kudapatkan. Kebanyakan dari peluang-peluang tersebut tidak bisa kudapatkan karena mereka meminta syarat bisa berbahasa Belanda dengan fasih. Sebuah realitas yang dulu aku remehkan selama kuliah, dan sekarang kusesali. Sesungguhnya karakteristik bahasa Belanda cukup dekat dengan bahasa Indonesia dalam hal pengucapan dan kosakata. Ini membuat orang Indonesia mudah sekali mempelajari bahasa Belanda dibandingkan orang-orang Yunani, Italia dan Afrika. Namun, beban kuliah yang kuhadapi selama berada di Wageningen membuatku tak sempat untuk mengikuti les bahasa Belanda yang diajarkan secara gratis di kampus. Dan aku mengambil kesempatan tersebut pas setelah semua kewajiban-kewajiban kuliah kupenuhi. Setelah mengikuti kursus bahasa Belanda selama 2 bulan lebih, aku baru percaya diri mencantumkan dalam CV ku bahwa aku mampu mengadakan dialog dengan bahasa Belanda. Beginner, begitu lah level kemampuan bahasa Belanda yang kutulis. Dan ternyata hal itu membuka satu-satunya peluang bagiku mengecap pengalaman bekerja secara profesional di Belanda dalam waktu yang tersisa.
    Adalah Geo-ICT Training Center The Netherlands yang tertarik dengan lamaran pekerjaan yang kukirim kepada mereka. Sebenarnya, beberapa bulan lalu, aku sudah beberapa kali mengirimkan lamaran pekerjaan yang sama yaitu sebagai posisi trainee di perusahaan mereka. Namun tak ada jawaban selanjutnya dari mereka. Mungkin kualifikasi level beginner Dutch - ku yang baru kumasukkan kedalam CV ku itu lah yang membuat mereka sekarang akhirnya tertarik padaku.
    Benar saja. Aku diundang dalam panggilan video call dengan Anton, nama bos dari perusahaan tersebut. Dan kalimat pertama yang ia tanyakan padaku setelah halo, adalah Hoe gaat heet?. Apa kabarmu? Tentu aku pun menjawab sesuai arahan dalam kelas bahasa Belanda ku: Ik het goed. En jij? Aku baik-baik saja. Bagaimana denganmu?
    Setelah itu Anton bertanya -masih dalam bahasa Belanda- beberapa pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang diriku yang aku pun masih bisa menjawab nya dengan baik, walaupun terbata-bata. Baru ketika ia menyemburkan pertanyaan-pertanyaan yang lebih kompleks, aku tak bisa menjawabnya. Ia pun mengubah wawancara nya dalam bahasa inggris. Intinya, ia tertarik pada CV ku dan ia punya ide menarik untuk mengekspansi layanan perusahaannya ke negaraku: Indonesia. Dan ia mau mengundangku untuk melakukan brainstorming di kantornya di sebuah kota bernama Apeldoorn. Aku mengiyakan undangannya. Video call kami sudahi. Kututup webcam yang ada di laptopku, dan aku pun melompat-lompat girang.
    Aku pun berangkat ke Apeldoorn satu minggu setelah video call tersebut. Aku berangkat bersama Rivan Rinaldi (sekarang sudah MSc), teman satu tingkat dibawahku di WUR. Kantor Geo-ICT tak jauh dari stasiun centraal nya kereta api dan bus kota Apeldoorn. Pun begitu, sesampai di kota tersebut, kami menyewa dua sepeda OV-Fiets. Kami akan menggunakannya untuk jalan-jalan mengelilingi Apeldoorn nanti setelah sesi brainstorming selesai.  
    Aku datang 30 menit lebih awal dari jadwal yang ditentukan. Setelah menunggu beberapa saat di ruang tamu, aku pun dipersilahkan masuk kedalam sebuah ruangan. Disana aku bertemu dengan Anton, serta Thijmen, seorang pria kepercayaan Anton. Aku memperkenalkan diriku sebagai Jack, agar mereka lebih mudah memanggilku, daripada mereka bingung dengan nama Arab ku yang panjang.
    Sebenarnya, ada dua orang Indonesia yang diundang dalam sesi brainstorming kali ini. Aku datang pertama. Dan kami punya waktu 30 menit sebelum sesi resmi dimulai. Sambil menunggu waktu tersebut dan menunggu satu orang Indonesia lain yang belum datang, kami pun berbicara santai seputar kuliahku dan kegiatanku saat ini. Aku pun menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka. Salah satu nya dengan menginformasikan pada mereka bahwa aku sekarang juga terlibat dalam sebuah startup rintisan ku dan temanku yang berfokus pada pertanian berkesinambungan di Indonesia bernama Arconesia. Anton sepertinya tertarik dengan ceritaku. Ia bahkan mempersilahkanku menunjukkan daerah operasi kami melalui layar besar yang ada diruangan tersebut. Aku tak segan menggunakannya dan menceritakan setiap nilai filosofis yang kami pegang serta istilah-istilah teknis lainnya. Diskusi berjalan hangat sampai jam menunjukkan sesi brainstorming kami pun sudah sampai pada waktunya. Satu kandidat yang lain tidak datang juga. Kami pun memulai tanpa dia.
    Seperti yang kami bicarakan tempo hari pada video call, Anton membeberkan rencana perusahaannya di Indonesia. Lalu ia bertanya pendapatku. Tentu saja aku menjawab dengan mengatakan bahwa Indonesia adalah pasar digital terbesar di Asia Tenggara dan salah satu yang terbesar di dunia. Pengguna internet yang kebanyakannya mengakses melalui telepon genggam juga merupakan yang terbesar di dunia. Ini mengindikasikan bahwa apapun yang dapat dijual secara digital di Indonesia, pasti akan ada yang membeli. Tak terkecuali Geo-ICT. Oh iya, Geo-ICT ini adalah perusahaan yang menyediakan layanan kelas-kelas serta kursus-kursus di bidang GIS, Remote Sensing, Surveying, dan ilmu geografi secara umum lainnya.
    Diskusi berjalan dengan hangat. Mereka bertanya, aku menjawab. Beberapa kali pun aku bertanya tentang kapasitas mereka, serta apa harapan mereka tentang Geo-ICT Indonesia nantinya. Tak terasa 1 jam sudah kami berdiskusi. Aku menutup laptopku, dan bersiap-siap keluar dari kantor tersebut. Sebelum aku keluar, Anton memujiku dengan mengatakan bahwa bahasa Inggris ku sangat baik sehingga ia yang sudah tua pun masih bisa mengerti apapun yang aku ucapkan. Aku terbang setinggi langit. Pujian itu adalah sebuah hadiah yang sangat berharga bagiku, karena di tahun pertama di WUR, bahasa Inggris ku seringkali tak dimengerti oleh teman-teman Belandaku sendiri yang jauh lebih muda dari Anton. Hari ini, Anton mem-validasi bahwa aku telah berproses dengan baik dan memenuhi kualifikasi untuk bekerja secara profesional  dalam lingkungan multikultural di sebuah perusahaan di negara maju.
    Benar saja, seminggu kemudian aku dihubungi kembali oleh Anton. Sebelum finalisasi kontrak, Anton mempersilahkan aku untuk mengikuti sebuah kelas yang ditawarkan oleh Geo-ICT, yaitu kelas AutoCAD. Keikutsertaanku pada dasarnya untuk membuatku familiar pada layanan yang diberikan oleh perusahaan yang nantinya dapat aku terapkan pada Geo-ICT cabang Indonesia. Aku pun dengan senang hati menerima tawaran tersebut.
   Setelah menyelesaikan kelas tersebut, aku pun dipanggil lagi oleh Anton ke kantor. Ia mengajakku ke sebuah restoran di pinggir kota Apeldoorn dengan mengendarai mobil listrik kepunyaannya. Aku terkesima dengan mobilnya yang memiliki fitur kamera di belakang sehingga ia tak perlu menoleh ketika memundurkan mobilnya. Mobilnya pun berjalan tanpa mengeluarkan suara bising.
   Di restoran tersebut, kami berbicara panjang lebar lagi tentang strategi-strategi yang perlu dilakukan pertama sekali ketika memulai Geo-ICT Indonesia. Untungnya, aku sudah memikirkan itu terlebih dahulu dalam perjalanan kereta api ke Apeldoorn. Akupun membeberkan strategi yang kufikirkan. Aku juga menjelaskan analisis kompetitor pada Anton dan peluang-peluang model bisnis yang masih kosong dalam sektor ini. Anton terkesima denganku dan ia pun menjelaskan setiap persyaratan legalitas yang harus kulalui dan kumiliki, dan ia akhirnya berbicara gaji. Lagi-lagi aku yang terkesima dan excited.
   Kami kembali ke kantor. Anton kemudian menyerahkan kontrak yang harus ku tandatangani. Aku menandatangani kontrak tersebut dengan hati yang berbunga-bunga dan kekhawatiran apakah aku dapat menjalankan peran ini atau tidak. Saat kutanya pada Anton apa kira-kira gelar yang dapat aku pakai untuk kugunakan pada profil Linkedin ku agar dapat juga kugunakan untuk berkomunikasi secara lugas dengan partner bisnis, Anton menjawab:
Director Geo-ICT Indonesia.
Aku pun tersenyum lega. Inilah rezeki yang datang dari arah yang tak terduga seperti janji Allah pada surat At-Thalaq ayat 3.

0 comments: