Aceh,

(1) Darussalam to 'Darussalam' : keterpaksaan?

7:40 AM zakiul fahmi van jailani van hamzah van abdullah 0 Comments

   Saat pertama sekali abangku, bang Pandi, datang ke jogja, ada satu pertanyaan yang masih terngiang-ngiang dalam pikirnku bahkan sampai saat ini, disaat pertanyaan itu sudah terjawab. Saat itu kami berdua sedang susuri jalanan kota Jogja yang dipenuhi oleh anak SMA hendak pulang ke rumah. Saat lihat gadis-gadis sekolah Muhammadiyah ber jilbab ria berpeluh menunggu bis, pertanyaan itu pun muncul :

"Kenapa orang-orang disini memakai jilbab?"
Aku heran. Pertanyaan macam apa itu.
"Iya, kalau di Aceh kan, berjilbab itu aturan. Jilbab juga adalah budaya islami yang kalau tidak dilaksanakan akan di pandang aneh. Kalau disini kan nggak?", tapi setelah dipikir-pikir ada benarnya juga pertanyaan abangku ini. Suatu hal yang belum sempat hinggap di kepalaku selama dua tahun di Jogja.
    Mungkin beliau tidak tahu, kalau Jogja adalah tempat lahirnya salahsatu dari dua organisasi masyarakat Islam terbesar di Indonesia : Muhammadiyah. Salahsatu prestasi terbesar dari ormas ini adalah meng-islam-kan kembali masyarakat pribumi yang telah termakan ajaran islam kejawen yang konon katanya di lancarkan oleh kaphe Belanda saat itu.
    Lalu lahirlah Muhammadiyah, sebagai organisasi yang jadi penyelamat akidah umat islam di tanah jawa. Tokoh pendiri nya adalah K.H. Ahmad Dahlan. Bahkan kisah hidup beliau sudah di film kan oleh sutradara terkenal, salahsatu alumni sekolah Muhammadiyah : Hanung Bramantyo.
Dari kemunculan hingga sekarang, Muhammadiyah terus berkembang bahkan sampai ke seluruh Indonesia dengan ideologi nya yang konon dipinjam dari Ikhwanul Muslimin di Mesir : Tarbiyah.
***---***---***---***
    Sejak saat itu, aku selalu berpikir tentang Aceh, tentang Islam orang Aceh saat ini, yang dulu meng Islam kan seluruh Asia Tenggara, kini rasanya seperti hanya simbol belaka, keterpaksaan, tidak dari hati. Penuh kemunafikan. Ber jilbab agar tidak kena tangkap petugas syari'ah.
    Mendidih darah rasanya jika melihat statement-statement semacam itu, begitu pula dengan Saya. Tapi, akuilah, keadaan memang berbicara seperti itu. Saya sendiri yang tinggal di Yogya di tengah-tengah masyarakat Aceh, kerap sekali melihat sikap pesimis bahkan anak-anak muda Aceh yang kelak akan memimpin Nanggroe akan sistem syari'at islam : sistem yang pernah membawa nama Aceh ke dalam satu dari lima kerajaan adidaya di dunia di masanya.
    Tidak hanya di dalam masyarakat Aceh di perantauan, di Aceh juga begitu, kerap terdengar ejekan-ejekan terhadap syari'at islam dari mulut-mulut pemuda-pemudi Aceh yang mengaku mengagumi Cut Nyak Dhien, Teuku Umar, Tgk. Cik Di Tiro dan Tgk Daud Beureueh. Mereka tidak sadar yang dikagumi dulu berjuang berlumuran darah dengan satu tujuan : Syari'at Islam tetap tegak di ujung Sumatera, memberi cahaya kebenaran kepada dunia.

    Di lesehan kota Jogja, saat menikmati nasi kucing, Aku kagum pada pedagang angkringan yang memakai Blangkon (penutup kepala khas Yogya) dengan bangga walau Blangkon sedianya adalah simbol kampungan. Aku berharap suatu saat nanti Kita akan bangga menggunakan simbol-simbol Islam yang pernah berjaya di Aceh dulu, bukan karena keterpaksaan, namun dengan niat yang tulus.
http://m.kompasiana.com/post/read/660060/2/13000-km-aceh-jogja-keterpaksaan.html

0 comments: