2017,

(8) Darussalam to 'Darussalam' : Payung Listrik dan Persatuan Kita

7:51 AM zakiul fahmi van jailani van hamzah van abdullah 0 Comments

    Sejak bulan September 2017 yang lalu, saya sudah menetap di Banda Aceh selama dua bulan. Saat pulang, proyek mega perluasan dan pengembangan Masjid Raya Baiturrahman yang sangat ditunggu-tunggu masyarakat Aceh baru saja selesai. Tentu saja banyak yang mengajak untuk ke masjid raya untuk sekedar mengabadikan momen di bawah payung listrik baru yang fenomenal itu. Namun, baru satu hari setelah pengumuman kelulusan LPDP pada tanggal 26 Oktober 2017, saya sempat mengunjunginya.
   Ada perasaan haru yang menusuk dalam, yang saya rasakan saat pertama kali menginjakkan kaki melihat pelataran parkir underground yang rapi. Kemudian memasuki toilet dan tempat wudhu yang bersih dan nyaman. Berjalan disepanjang koridor indah, menaiki eskalator dan tentu saja berteduh dibawah payung elektrik yang megah. Sejenak saya merasakan atmosfir masjid-masjid di Malaysia dan sekelebat lagi membandingkannya dengan kemegahan masjid raya Istiqlal di Jakarta. Haru, bukan karena kemegahannya, tapi karena baru kali ini rakyat Aceh baru bisa menikmati ini. Padahal sungguh negeri sangat subur, masyarakatnya sangat baik tapi dunia sangat kejam, bahkan saudara sendiripun tak sanggup menahan nafsunya menggerogoti tanah indah nan subur ini.
   Saya adalah generasi yang pernah merasakan haru biru berkumpul dengan sanak keluarga di taman depan masjid raya itu, sambil menyantap makanan lalu sesekali memberikan potongan-potongan kecil makanan itu kepada ikan-ikan besar yang berenang meloncat-loncat di dalam kolam. Dan perasaan haru itu kembali lagi menjadi-jadi ketika saya melihat ibu-ibu dengan keluarganya melakukan hal yang sama, namun kali ini bukan duduk ditaman melainkan di bawah keteduhan payung elektrik yang berharga puluhan milyar rupiah itu. Bukan dimasa lalu yang dimana nanggroe masih dicabik-cabik oleh konflik dan ketidakmenentuan masa depan, melainkan di masa sekarang saat dana otsus (otonomi khusus) membanjiri Aceh dan optimisme terpancar di wajah-wajah masyarakat Aceh sekarang. Haru sekali rasanya.
   Saya membayangkan, seandainya kami tidak pernah terseret dalam arus konflik di tahun 1970-an atau sejak pemberontakan DI/TII atau bahkan sejak Belanda menyatakan perang pada tahun 1873, bisa jadi masjid yang megah seperti ini tidak berdiri hanya satu saja. Melainkan puluhan, 30 puluhan lebih di seluruh Aceh. Jika saja sumber gas terbesar di dunia yang ditemukan di Arun pada tahun 1972 dulu itu benar-benar dikembalikan kepada rakyat Aceh, maka masjid ini akan lebih mewah dari ini. Bahkan fasilitas dan amenitas yang menunjang kesejahteraan masyarakat akan lebih daripada ini. Perang benar-benar telah membuat bangsa Aceh terpuruk, mundur puluhan tahun kebelakang.
#   #   #
  Lalu saya menemukan jawaban mengapa bangsa Aceh bisa seperti ini. Tidak jauh dari payung elektrik yang viral itu, tepatnya di dalam masjid raya baiturrahman ini sendiri, faktor yang menyebabkan kemunduran kami tampak jelas sekali dalam satu keteledoran kecil yang detil sekali : kerapatan shaf.
     Saat melihat bapak-bapak dengan baju lusuh (mungkin mereka adalah masyarakat Aceh di kampung yang ingin datang melihat kemegahan masjid raya), anak-anak muda dengan wajah sumringah ingin menjalankan ketaatan beribadah dalam negeri syariat serta kaum hawa yang anggun berkelompok di shaf belakang, saya tetiba teringat dengan foto para pemimpin kami yang dalam shalat idul adha 1437 H beberapa waktu lalu, mempertontonkan ketidakakraban mereka yang tampak dari kerenggangan shaf shalat mereka. Sepanjang shalat, saya tidak bisa mencapai derajat khusyuk  paripurna dikarenakan asyik menggerutu  setelah mengetahui mengapa dana otsus terbesar di Indonesia yang digelontorkan sejak 12 tahun lalu masih belum mampu melengserkan rangking kemiskinan kita dari peringkat nomor satu di Sumatera dan nomor dua di Indonesia adalah dikarenakan pemimpin-pemimpin kami yang tidak bisa menyampingkan egonya masing-masing yang berakibat meulhoo keudroe-droe (saling berkelahi), padahal musuh nyata kita adalah kemiskinan dan ketidakadilan. Dan perilaku itu berimbas kepada masyarakat karena pemimpin adalah role model bagi masyarakat.


Sumber : http://aceh.tribunnews.com/2016/09/14/netizen-kritik-shaf-shalat-pemimpin-aceh-yang-saling-berjauhan
   "Rapikan shaf-shaf kalian ... ", begitu salah satu sabda beliau yang sangat terpuji tentang keutamaan shaf dalam Hr. Abu Dawud no.662, "Demi Allah, kalian merapikan shaf kalian, atau kalau tidak maka Allah akan menjadikan perselisihan diantara hati kalian."
   Senada dengan itu pula, rasul juga menekankan pesan persatuan yang sangat penting dalam tubuh umat muslim melalui shalat berjamaah. Beliau bersabda,
"Tidaklah tiga orang di suatu desa atau lembah yang tidak didirikan shalat berjamaah di lingkungan mereka, melainkan setan telah menguasai mereka. Karena itu tetaplah kalian (shalat) berjamaah, karena sesungguhnya srigala itu hanya akan menerkam kambing yang sendirian (jauh dari kawan-kawannya).” (HR. Abu Daud no. 547, An-Nasai no. 838, dan sanadnya dinyatakan hasan oleh An-Nawawi dalam Riyadh Ash-Shalihin no. 344).
   Berbicara tentang persatuan di Aceh memang sulit karena Aceh telah terkoyak oleh perang sejak seratus tahun yang lalu. Tapi dari sejarah pula kita belajar bahwa setiap upaya untuk bersatu melawan segala bentuk penjajahan, disitu kita melihat secercah cahaya. Pun kita bisa saja tidak dapat menikmati indahnya cahaya persatuan tersebut dengan mata kepala kita sendiri, namun semoga dapat menjadi hadiah terbaik bagi anak-anak dan cucu-cucu kita nantinya. Sama seperti payung elektrik dan kemegahan masjid raya baiturrahman ini yang tidak sempat disaksikan oleh para pahlawan kita. Sejatinya ini semua berangkat dari pekikan Teuku Umar, disambung heroisme Cut Nyak Dhien, disambut oleh seruan Tengku Daud Beureueh dan diakhiri oleh ijtihad Hasan Tiro. Mereka semua adalah pahlawan yang melawan penjajahan dan penyeru persatuan demi tegaknya syariat islam di Aceh, tapi tak pernah sempat melihat masyarakat Aceh yang kini teduh duduk dibawah payung elektrik.
   Sekarang mari bertanya pada diri, apakah payung elektrik ini hanya pantas digunakan untuk berteduh diri, atau sebagai simbol persatuan kita yang berteduh bersama dibawahnya untuk melaksanakan perlawanan terhadap segala bentuk penjajahan yang masih saja merajalela. Untuk menjawab ini, mari melihat gambar dibawah ini :
Sumber : http://portalsatu.com/read/ekbis/penduduk-miskin-aceh-tertinggi-di-sumatera-31903

0 comments: