Beastudi Indonesia Preparatory School Batch 4,

(Week 2) Beastudi Indonesia Preparatory School Batch 4 : Critical Thinking

3:34 AM zakiul fahmi van jailani van hamzah van abdullah 0 Comments

                “Jangan menganggap semua orang sebagai teman, sebelum mencoba tiga sifat ini kepadanya; pertama, lihatlah ketika dia marah apakah berpaling dari kebenaran kepada kebatilan. Kedua, terkait dirham dan dinar (harta). Ketiga, saat bepergian dengannya”
                Setelah lelah belajar selama satu minggu penuh, kami memutuskan untuk jalan-jalan. Sebenarnya, jadwal hari minggu pertama adalah sesi khusus yang akan diisi oleh petinggi LPDP. Unfortunately, LPDP mendadak mengatakan tidak bisa karena satu dan dua hal. Sampai program BIPS batch 4 ini berakhir nantinya, LPDP tetap tidak memberi jawaban yang pasti siapa orang terbaik dari LPDP dan kapan beliau bisa membersamai kami. Pihak Dompet Dhuafa memang sudah mewanti-wanti kepada LPDP siapa jajaran pentingnya yang bisa datang. Dompet Dhuafa tidak mau orang yang biasa yang datangm karena itu sama saja dengan seminar-seminar roadshow yang selama ini diadakan oleh LPDP. Disini, Dompet Dhuafa ingin sesuatu yang berbeda. Anyway, kami memutuskan untuk jalan-jalan ke Botani Square, mall-nya Institut Pertanian Bogor, yang terletak di pusat kota. Awalnya, aku ragu ikut karena sudah ernah kesana setahun yang lalu ketika nonton film “Cokroaminoto, Guru Bangsa” bersama dengan teman-teman School for Nation Leader, salah satu program Dompet Dhuafa juga. Tapi akhirnya aku setuju untuk ikut bersama dengan teman-teman yang beberapa juga pada awalnya tidak mau ikut.
                Keputusan yang kami ambil pada akhirnya tidak sia-sia karena kami menciptakan banyak sekali momen-momen indah yang tak terlupakan. Awalnya, kami hanya pergi ke Botani Square untuk makan-makan di Food Court – nya. Benar-benar kegiatan yang tidak berguna sama sekali. Tapi kemudian kami memutuskan untuk pergi ke rumah Herma, penanggungjawab program BIPS batch 4 ini yang sudah kami anggap seperti adik sendiri. Kami ketawa-ketiwi sepanjang perjalanan di angkot, salah naik bus, hujan-hujanan dan memori-memori yang tak terlupakan lainnya. Setiap detik kesenangan dan kesusahan yang kami lalui, tidak ada seorangpun yang marah bahkan mengeluh saja. Disinilah aku merasa bahwa teman-teman yang baru saja aku temui seminggu yang lalu ini adalah teman-teman terbaik di lingkungan asalnya. Setidaknya, dalam perjalanan ini kami bisa lebih akrab, mengetahui lebih dalam karakter-karakter setiap orang dan melepas topeng kecanggungan yang masih ada diantara kami. Ini penting, karena proses belajar bersama tidak akan berjalan efektif jika masih malu-malu dan ada dinding tidak terlihat di antara kami.
                Agenda acara di akhir pekan ini kami habisi dengan outbond di Kebun Raya Bogor. Lumayan, dapat baju dan slayer baru, serta bisa akhirnya menikmati keindahan Kebun Raya Bogor walaupun hanya di bagian kecilnya saja. Disini kami semakin akrab dan tentu saja semakin happy. Walaupun outbond diadakan dari pagi sampai siang tanpa henti, kami tidak merasa capek.

Metode Belajar
Poin pertama yang diajarkan oleh tim The Brighton Indonesia (TBI) kepada kami dalam menguasai IELTS adalah Critical thinking. Berpikir kritis. Ini dikarenakan soal-soal yang di tanyakan dalam tes IELTS adalah soal-soal nalar. Berbeda dengan soal yang selama ini kupelajari di TOEFL, yaitu structure, grammar dan serangkaian rules lainnya. Misalkan saja dalam Writing dan Speaking, yang dinilai tidak hanya aturan baku grammar dan spelling serta pronunciation nya saja, melainkan juga coherent dan cohesion nya. Jika kita tidak mampu menangkap pertanyaannya serta tidak mempunyai wawasan luas yang berbeda dengan ide orang lain, maka susah untuk memberikan jawaban. Oleh karena itulah, critical thinking merupakan hal pertama yang harus dibiasakan kepada murid.
                Salah satu hal yang sangat kukagumi dari teman-teman anggota BIPS Batch 4 ini adalah keunikan masing-masing yang dimiliki. Aku banyak belajar dari mereka terutama dari cara mereka meningkatkan kemampuan bahasa inggris dalam waktu lima minggu tersebut. Masing-masing memfokuskan diri pada titik lemahnya sendiri diantara empat bagian tes IELTS, yaitu Listening, Reading, Writing dan Speaking. Ada yang rajin mengunjungi The Jakarta Post untuk meningkatkan kemampuan reading nya, ada yang menulis secara terperinci rangkuman buku pegangan kami yaitu Focus on IELTS, ada yang kemana-mana nampaknya kerjaannya cuma dengerin musik dari smartphone padahal sedang mendengar materi BBC atau materi listening lainnya, ada yang masih belajar setelah kelas berakhir pada jam 10 malam, ada pula yang bangun satu jam sebelum jadwal shalat Shubuh untuk listening, bahkan ada yang sudah punya band score IELTS 6 padahal baru belajar bahasa inggris enam bulan yang lalu. Memang benar apa yang dikatakan bahwa orang-orang hebat itu, melakukan hal-hal yang unik dan berbeda.
                 Aku sendiri menyadari Speaking adalah titik lemahku. Sudah sejak SMP aku mengalaminya ditambah pengalaman buruk di SMA ketika tidak bisa menjawab pertanyaan seorang panelis dalam acara seleksi English Ambassador yang disiarkan oleh TVRI nasional. Alhamdulillah, berkat rahmat Allah, aku dipertemukan dengan jalan keluarnya. Beberapa teman yang sangat baik membuat inisiatif untuk practice speaking test setelah shalat shubuh. Demi mendengar ide itu, aku langsung setuju dan menjadi anggota yang paling rajin datang.

0 comments:

Beastudi Indonesia Preparatory School Batch 4,

(Week 1) Beastudi Indonesia Preparatory School Batch 4 : Highest Score

8:43 AM zakiul fahmi van jailani van hamzah van abdullah 1 Comments

“What is the maximum score you can achieve in IELTS?”,
adalah pertanyaan tricky dari seorang pengajar english tua di program BIPS Batch 4 ini. Dengan pronunciation british english nya sambil matanya berputar-putar mirip seperti mata bunglon. Rafiq Mahmud namanya. Kami ‘dipaksa’ olehnya untuk memanggilnya dengan nama panggilan ‘bung Rafiq’. Pertama kali kami bertemu dengannya, kami juga terkejut lantaran si bung ternyata adalah seorang lelaki tua dengan perawakan asli British pada umumnya. Dia bukan keturunan India yang sudah lama menetap di Inggris turun-temurun. Warna kulitnya bahkan tidak coklat, apalagi gelap pekat. Kalau Anda kebetulan kenal dengan Rowan Atkinson si ‘Mr. Bean’, maka bayangkan saja bung Rafiq adalah versi tua dari Mr.Bean. Bahkan ekspresinya pun sangat mirip dengan tokoh televisi Inggris yang sering kita lihat melakukan tindakan-tindakan konyol itu.
            So, tentu saja kami menjawab angka 9 (sembilan) untuk pertanyaan itu ketika bung Rafiq menanyakan kami satu per satu. Tentu saja. Karena memang maksimal skor IELTS itu adalah 9. Tapi bung Rafiq menggeleng sebanyak sebelas kali sesuai jumlah peserta BIPS Batch 4 ini. Jawabannya salah.
            “The maximum score you can achieve is to be able commuciate and speaking fluently in English with accent and to be able read and writing for academic purpose”.
            Sudah hampir seminggu aku berada di Zona Madina Dompet Dhuafa, Parung, Bogor. Selama itu pula aku terus mencari jawaban mengapa aku dulu iseng mendaftar program ini. Untuk tujuan yang sejalan dengan visi Dompet Dhuafa, aku sudah mendapatkannya di hari pertama ketika pembukaan acara. Namun, rasa-rasanya untuk tujuan yang sejalan dengan visi IELTS, justru aku mendapatkan jawabannya dari pertanyaan bung Rafiq diatas tadi.
            “Bahwa maksimal skor yang bisa didapatkan dari belajar IELTS adalah mampu berkomunikasi dan berbicara lancar dalam bahasa inggris serta mampu membaca dan menulis untuk tujuan akademik"
Done. Disaat itu juga aku tertohok dengan nilai filosofis yang hendak disampaikan oleh Rafiq. Selama 11 tahun sejak kelas 1 SMP di MTsS Jeumala Amal dulu, ternyata aku telah salah kaprah dalam belajar bahasa inggris. Balajar bahasa inggris untuk mendapatkan nilai bagus. Belajar bahasa inggris untuk mendapatkan band score yang bagus untuk digunakan dalam mendaftar ke universitas tujuan yang diimpikan. Lalu meraih gelar master, menikah dengan high-class girl, mendapatkan sophisticated job dan hidup happily ever after forever.
Seharusnya belajar bahasa inggris,sesuai dengan nilai filosofis bung Rafiq, adalah untuk mempersiapkan diri berenang sebebas-bebasnya dalam lautan ilmu tanpa batas yang tidak bisa kita pungkiri hanya sangat mungkin di akses dengan kemampuan bahasa inggris yang mumpuni. Itu adalah tujuan utamanya. Sementara yang lain hanyalah letupan-letupan manis yang dikecap sebentar dan nantinya akan hilang lagi.

Guru-Guru Hebat
Anyway, seminggu terakhir berada di Bogor bertemu dengan orang-orang baru benar-benar membuatku kembali berpikir : nikmat tuhan mana lagi yang ingin kau dustakan. Tapi, sebagai individu yang mengidap introvert stadium 4, bertemu dengan banyak warna sekaligus benar-benar membuatku kewalahan pada awalnya. Seiring berjalannya waktu, dengan bantuan dan kehangatan yang ditunjukkan oleh teman-teman lainnya, akhirnya aku pun bisa cair dan berani menunjukkan warna asliku juga. Terima kasih teman-teman.
Guru pertama yang kami temui dari tim The Brighton adalah ms. Zizi, a lovely lady yet a very bossy and sometimes menakutkan serta berbicara sangat cepat sekali. Kelasnya adalah kelas yang paling hidup dan paling banyak menghasilkan tawa berderai-derai di ruangan. Dia selalu membawa sekotak penuh berisi permen yang akan dibagikan berdasarkan grup-grup terbaik di setiap tugas.
Guru kedua adalah Simon, seorang ‘imported speaker’, kata ms.Zizi sebagai ganti dari terma yang sering kita sematkan kepada mereka : native speaker. Pertama kali bertemu dengannya di ruang Audio Visual Pusat Sumber Belajar Sekolah Smart Ekselensia Dompet Dhuafa, kesan pertamaku adalah seperti melihat seorang hipster. Kami sempat meragukan Simon pada awalnya karena setiap pertanyaan kritis yang kami lontarkan selalu dijawab dengan dia berpikir lama dan diakhiri dengan ‘i dont know’ darinya. Ditambah lagi penampilannya yang urakan. Rambutnya yang pirang panjang dan tubuh yang kurus tapi tinggi serta celana jeans usang ditambah baju kemeja yang tampaknya kebesaran menambah kesan yang sangat kuat bahwa Simon adalah seorang ekspatriat pelarian yang mencari nafkah di Indonesia lantaran biaya hidup di London mahal. Dan benar adanya. Sesuai dengan curhatannya di malam itu, dia memang berasal dari Bristol, sebuah daerah yang tidak jauh dari London. Disana biaya hidupnya mahal.

Tapi Simon baru menunjukkan kapasitasnya saat kami belajar di ruang komputer di bagian depan komplek Dompet Dhuafa. Dia mengerti akan struktur kalimat yang benar serta penggunaan vocabulary yang tepat dalam kalimat. After all, Simon is good lah.
Guru yang best of the best dalam pelatihan BIPS ini bernama Michael. Dari segi penampilan, Michael adalah seorang yang sangat rapi dan selalu klimis. Michael juga berperawakan tinggi seperti halnya orang Inggris pada umumnya. Pronunciation nya jelas dan sering sekali membuat joke melalui cara bicaranya. Misalnya memperpanjang huruf R menjadi rrrrrr. Atau melebih-lebihkan spelling words nya semisal menekankan cara mengucapkan kata ‘the’ menjadi ‘thhhhhhe’, ‘three’ menjadi ‘thhhhhre’.
Namun yang paling membuat kami kagum dari Michael adalah ketika Mike, nama panggilannya, mengajar dia tidak pernah duduk. Selalu berdiri. Dari pukul 8 pagi saat pelajaran dimulai sampai pukul 5 sore saat pelajaran selesai. Dia juga tidak pernah minta izin ke toilet. Pelajaran yang dia ampu selalu selesai tepat satu bab pada hari itu. Banyak sekali pelajaran yang kami dapatkan dari seorang Mike.
Guru terakhir adalah ms. Ami. Beliau mendapat jadwal mengajar setiap hari jum'at. Seorang guru yang memiliki metode megajar yang sangat fun dan punya banyak permen serta kue untuk dibagikan kepada kami. Setelah capek belajar di kelas selama lima hari sebelumnya, hari jum'at terkadang menjadi hari yang dinanti karena bisa tetap belajar tapi sambil bermain.
  Saat tulisan ini ditulis, kami baru saja menyelesaikan Mock Test pertama. Selama ini aku telah terbiasa dengan reading, listening dan writing. Tapi untuk speaking, yang di interview oleh bung rafiq, aku masih harus banyak latihan berbicara dengan Mike, bung Rafiq, Simon dan Ms. Zizi serta belajar melatih mental dengan teman-teman yang lain. Speaking masih menjadi masalah terbesarku. Mungkin karena aku masih belum terlalu menyerap nila filosofis dari nasehat bung Rafiq. Tidak apa-apa kukira, karena masih ada empat minggu lagi dan ketika pelatihan ini selesai aku akan mengenang ketidakmampuanku melalui tulisan ini.

1 comments: