Aceh,

(4) Darussalam to 'Darussalam' : Enakan mana? Aceh atau Jogja

12:15 AM zakiul fahmi van jailani van hamzah van abdullah 1 Comments

21 Agustus 2014
    Saya sedang di Banda Aceh. Ada sebuah pertanyaan yang ditanyakan kepada Saya oleh bang Pandi. Pertanyaan ini muncul dari pernyataan Saya bahwa Saya tidak betah tinggal di Aceh. Memangnya, apa yang membuat tidak betah disini sementara disana betah? Apa hebatnya Jogja? Begitu kira-kira jika pertanyaannya di singkat.
    Well, Saya juga merasa bingung pada awalnya sehingga membuat Saya tergagap tidak tahu harus menjawab apa.
    Mati lampu? Ucap saya dalam hati. Di Aceh mmang sering mati lampu. Tapi hati Saya urung memerintahkan mulut untuk melontarkan pendapat itu karena setelah beberapa saat disini, wilayah tempat rumah Kami berada tidak begitu sering di usik oleh PLN dengan masalah energi Mereka di Sumatera.
    Motor terus melaju. Abang Pandi duduk di belakangku menjulurkan sedikit kepalanya kedepan meminta jawaban atas pertanyaannya.

    Hmmm ... Aku terdesak dan hampir saja ku ucapkan argumen terkenal tentang Yogya, makanan yang murah. Itu bukan alasan yang logis mengingat di Banda Aceh Aku makan secara gratis dan rasanya enak setinggi langit karena itu adalah makanan Ibu Kami yang sudah mendoktrin lidah Kami sejak kecil.
    Waduh. Abang Pandi masih menunggu di belakang. Ku tancap gas motorku sebagai bentuk pengalihan isu. Kami melaju berbelok ke arah kiri setelah melewati jembatan Lamnyong dan menuruni jalan menurun di samping sungai Aceh yang indah. Abang Pandi akhirnya teralihkan. Kepalanya tidak lagi mendongak kedepan. Tapi diamnya menunjukkan kekalahan ku karena tidak dapat menjawab pertanyaan tersebut padahal Aku sudah hampir empat tahun tinggal di Jogja namun belum bisa menjabarkan pesona antara tanah rencong dan Yogya. Lihatlah, bahkan untuk tulisan kotanya saja Saya bingung yang mana yang benar, apakah Jogja atau Yogya itu sendiri.
    Ramah? Aku terus berpikir walau abang Pandi sudah teralihkan. Nah, itu dia. Orang Jogja ramah-ramah. Beda dengan orang Aceh yang temperamental, curigaku karena pengaruh makanan Aceh yang banyak menggunakan rempah-rempah yang rajin mengusik emosi manusia. Pernah suatu ketika saat Aku sedang buru-buru dan harus ngebut di jalanan Jogja dengan motor, ternyata Aku tersenggol motor seorang ibu-ibu berjilbab dan berbaju jubah. Cuma tersenggol sedikit, tidak parah. Pun begitu, lazimnya orang akan marah mengingat secara umum, tingkat stress paling tinggi terdapat selama Kita di dalam perjalanan saat mengendarai motor. Tapi tidak dengan ibu ini. Beliau hanya tersenyum saja padaku. Sesaat Aku lupa akan keperluanku yang mendesak dan pada hari itu cintaku terhadap kota Jogja semakin merebak di hati melalui senyum wajah teduh ibu tersebut dan motor yang beliau kendarai.
    Berbeda dengan di Aceh. Terutama perilaku zigzag anak-anak muda di jalanan, belum lagi jalanan compang-camping serta perilaku-perilaku para pengendara motor dan mobil yang sangat mengesalkan.
    Mungkin salahsatu faktor lain yang pantas untuk aku utarakan adalah suasana kota yang tentram. Yogyakarta sendiri telah menjadi semacam destinasi akhir bagi pensiunan-pensiunan yang ingin menghabiskan waktu tua Mereka di Yogyakarta.
    Banyaknya acara atau hiburan juga menjadi faktor penting. Hampir setiap bulan ada saja acara-acara dalam berbagai level serta dalam berbagai jenis yang ada.  Salahsatu yang Aku suka adalah acara diskusi yang bertebaran dimana-mana. Diantara nya adalah Akademi Berbagi Jogja. Di akber ini, diskusi dihadiri oleh orang-orang hebat dalam bidangnya masing-masing dalam setiap topiknya. Yang paling menarik, semua acaranya tidak berbayar. Belum lagi tempat perhelatan acaranya yang diadakan di tempat-tempat yang sangat nyaman dan mewah.

    Ada lagi kajian islam yang diadakan rutin hampir setiap hari tersebar di masjid-masjid di yogyakarta. Bahkan, dalam sehari itu ada sampai 4 kajian di masjid-masjid berbeda. Bagi mahasiswa sepertiku, kajian Islam ini menarik tidak hanya karena menambah wawasan agama serta membuat hati tenang. Namun juga membuat perut kenyang dan dompet mengalami penghematan. Soalnya, setiap senin dan kamis, ada takjilan gratis pada akhir waktu kajian sore. Hehe.
    Pun begitu, hati ini tetap terpaut ke nanggroe tercinta. Suatu saat nanti, Aku berharap dapat membuat aceh senyaman hidup di jogja. Semoga Aceh dapat ramai dengan kegiatan-kegiatan positif. Semoga

1 comments:

Aceh,

(3)3000 km aceh jogja : Gajah Terbang

8:18 PM zakiul fahmi van jailani van hamzah van abdullah 0 Comments

19 juli
    Dimana ada gula disitu ada semut. Beberapa waktu lalu Saya mengikuti sebuah seminar dengan tema keliling dunia menggunakan beasiswa. Pada satu bagian slide presentasi, pemateri meletakkan dua buah emoticon ekspresi tersenyum sementara ekspresi yang satu lagi adalah ekspresi sedih untuk menggambarkan bagaimana bersekolah dengan beasiswa di luar negeri ada senangnya dan tentu ada tantangan dan sedihnya juga. Pemateri menceritakan, saat dilain kesempatan Ia mempresentasikan slide itu di depan salahseorang peserta yang juga temannya yang pernah bersama-sama kuliah dengan beasiswa di Australia, temannya tersebut memprotes beliau dan menyarankan untuk meletakkan seharusnya 6 buah emoticon ekspresi sedih di slidenya dibanding 1 buah emoticon ekspresi senang.  
   Selama ini Kita kerap merasa iri melihat bagaimana teman-teman yang kuliah diluar negeri memposting foto Mereka yang sedang berdiri bahagia di tengah hamparan salju yang luas membentang di sekitarnya. Setelah itu, Kita pun beramai-ramai menggantungkan mimpi setinggi langit untuk bersekolah di luar negeri. Walaupun tak kesampaian, paling tidak Kita akan jatuh di peluk bintang-gemintang, begitu sabda beberapa teman yang over optimistis tanpa dibarengi dengan usaha keras. Kuliah di luar negeri pun menjadi gula yang kemudian di kerumuni oleh semut-semut. Namun tidak banyak yang sadar bahwasanya momen kesenangan yang tampak pada Kita itu hanya beberapa menit saja dibandingkan dengan jutaan menit yang Mereka habiskan pada review jurnal, laporan tugas, komunikasi dengan native speaker yang sulit, hingga shock culture yang sangat melelahkan batin.

    Yogya pun seperti gula. Terkadang sering terlihat di sosial media bagaimana hidup dalam perantauan kelihatannya asyik dan bahkan terasa seperti hebat, karena bisa hidup mandiri jauh dari orangtua. Namun di belakang itu semua tersimpan rapi cerita-cerita sedih yang dirasakan karena tidak bisa bersama dengan orang yang kita sayangi selama hidup Kita. Belum lagi kendala komunikasi yang agak berbeda dengan orang Aceh pada umumnya.
    Satu hal yang Saya sarankan kepada Mereka yang ingin mengambil keputusan seumur hidup untuk kuliah jauh dari kampung halaman : Teori Gajah Terbang. Silahkan lihat di google apa itu teori gajah terbang.

0 comments:

Aceh,

(2) Darussalam to 'Darussalam' : Aceh dan Amerika Latin

11:38 PM zakiul fahmi van jailani van hamzah van abdullah 0 Comments

8 juni 2014. Asrama mahasiswa aceh Sabena Yogyakarta. 

   Seorang bule berkunjung. Yogya terkenal sebagai salahsatu destinasi wisata yang paling ramai dikunjungi di Indonesia selain Bandung, Jakarta dan Bali. Sudah bukan barang langka jika melihat wisatawan asing wara wiri di Yogya. Bahkan disini juga ada kampung khusus bagi orang-orang dari negara lain. Praworirataman namanya.
   Kembali ke Sabena, teman-teman berkumpul tanpa di komando. Bule itu seorang gadis. Dari Amerika Latin. Puerto Rico nama negaranya.
    Ada banyak kesamaan budaya antara Kita dengan Mereka. Terutama Kita 'Aceh' dan Kita 'Indonesia' pada umumnya. Seperti halnya Aceh, bangsa-bangsa di Amerika Selatan, yang berarti termasuk Puerto Rico, tempat asal bule ini, juga terkena dampak imperialisme 3G(Gold, Glory, Gospel) nya kebangkitan Eropa. Jika di Aceh, pernah singgah penjajah Portugis dan kompeni Belanda, maka disana kedatangan Spanyol.

    Namun ada perbedaan besar. Di Aceh, Portugis harus angkat sauh dari selat Melaka diusir oleh laksamana wanita terhebat pertama di dunia(Malahayati). Sementara Belanda, walau berhasil mempertahankan kedudukannya 'hanya' di beberapa tempat di Aceh, Mereka tetap harus menahan malu karena dari seluruh daerah penjajahan di Indonesia, hanya di Aceh kompeni Belanda ditipu habis-habisan oleh Teuku Umar. Bukan sekali, bahkan dua kali. Kontras, karena Belanda berhasil memainkan politik tipu-tipuan(devide et impera) di wilayah jajahan di seluruh Indonesia, eh di Aceh Mereka justru kena tipu. Belum lagi jika menyebutkan bagaimana seluruh kekayaan jarahan Belanda di seluruh nusantara habis tergunakan untuk meredam semangat jihad prang sabi di Nanggroe Aceh Darussalam.
    Sebaliknya di Amerika Latin, adalah gadis-gadis seperti bule ini yang kini mendiami negeri Amerika Selatan itu. Dia sendiri mengaku bahwa dia bukan keturunan asli dari suku bangsa Puerto Rico yang menetap disana sejak dahulu. Bahasa asli Puerto Rico pun sudah punah di telan zaman. Gadis bule ini, bersama dengan sebagian besar warga lain menyandang gelar warga naturalisasi paling berhasil sepanjang zaman.
    Terkadang, Aku sangat bersyukur dapat hidup di tengah-tengah bangsa yang memegang kuat ajaran agama Islam yang menentang keras segala bentuk penjajahan. Seandainya saja Amerika Latin, seandainya saja Puerto Rico dan seandainya saja bagi orang-orang Indian, suku Inca serta Aborigin telah mengenal Islam yang kokoh bukan hanya sebagai agama saja melainkan juga sebagai instrumen pertahanan dari segala bentuk penjajahan, maka sekarang Mereka mungkin sedang bercanda tawa dengan keluarga Mereka, keluarga asli keturunan nenek moyang Mereka.

0 comments:

Aceh,

(1) Darussalam to 'Darussalam' : keterpaksaan?

7:40 AM zakiul fahmi van jailani van hamzah van abdullah 0 Comments

   Saat pertama sekali abangku, bang Pandi, datang ke jogja, ada satu pertanyaan yang masih terngiang-ngiang dalam pikirnku bahkan sampai saat ini, disaat pertanyaan itu sudah terjawab. Saat itu kami berdua sedang susuri jalanan kota Jogja yang dipenuhi oleh anak SMA hendak pulang ke rumah. Saat lihat gadis-gadis sekolah Muhammadiyah ber jilbab ria berpeluh menunggu bis, pertanyaan itu pun muncul :

"Kenapa orang-orang disini memakai jilbab?"
Aku heran. Pertanyaan macam apa itu.
"Iya, kalau di Aceh kan, berjilbab itu aturan. Jilbab juga adalah budaya islami yang kalau tidak dilaksanakan akan di pandang aneh. Kalau disini kan nggak?", tapi setelah dipikir-pikir ada benarnya juga pertanyaan abangku ini. Suatu hal yang belum sempat hinggap di kepalaku selama dua tahun di Jogja.
    Mungkin beliau tidak tahu, kalau Jogja adalah tempat lahirnya salahsatu dari dua organisasi masyarakat Islam terbesar di Indonesia : Muhammadiyah. Salahsatu prestasi terbesar dari ormas ini adalah meng-islam-kan kembali masyarakat pribumi yang telah termakan ajaran islam kejawen yang konon katanya di lancarkan oleh kaphe Belanda saat itu.
    Lalu lahirlah Muhammadiyah, sebagai organisasi yang jadi penyelamat akidah umat islam di tanah jawa. Tokoh pendiri nya adalah K.H. Ahmad Dahlan. Bahkan kisah hidup beliau sudah di film kan oleh sutradara terkenal, salahsatu alumni sekolah Muhammadiyah : Hanung Bramantyo.
Dari kemunculan hingga sekarang, Muhammadiyah terus berkembang bahkan sampai ke seluruh Indonesia dengan ideologi nya yang konon dipinjam dari Ikhwanul Muslimin di Mesir : Tarbiyah.
***---***---***---***
    Sejak saat itu, aku selalu berpikir tentang Aceh, tentang Islam orang Aceh saat ini, yang dulu meng Islam kan seluruh Asia Tenggara, kini rasanya seperti hanya simbol belaka, keterpaksaan, tidak dari hati. Penuh kemunafikan. Ber jilbab agar tidak kena tangkap petugas syari'ah.
    Mendidih darah rasanya jika melihat statement-statement semacam itu, begitu pula dengan Saya. Tapi, akuilah, keadaan memang berbicara seperti itu. Saya sendiri yang tinggal di Yogya di tengah-tengah masyarakat Aceh, kerap sekali melihat sikap pesimis bahkan anak-anak muda Aceh yang kelak akan memimpin Nanggroe akan sistem syari'at islam : sistem yang pernah membawa nama Aceh ke dalam satu dari lima kerajaan adidaya di dunia di masanya.
    Tidak hanya di dalam masyarakat Aceh di perantauan, di Aceh juga begitu, kerap terdengar ejekan-ejekan terhadap syari'at islam dari mulut-mulut pemuda-pemudi Aceh yang mengaku mengagumi Cut Nyak Dhien, Teuku Umar, Tgk. Cik Di Tiro dan Tgk Daud Beureueh. Mereka tidak sadar yang dikagumi dulu berjuang berlumuran darah dengan satu tujuan : Syari'at Islam tetap tegak di ujung Sumatera, memberi cahaya kebenaran kepada dunia.

    Di lesehan kota Jogja, saat menikmati nasi kucing, Aku kagum pada pedagang angkringan yang memakai Blangkon (penutup kepala khas Yogya) dengan bangga walau Blangkon sedianya adalah simbol kampungan. Aku berharap suatu saat nanti Kita akan bangga menggunakan simbol-simbol Islam yang pernah berjaya di Aceh dulu, bukan karena keterpaksaan, namun dengan niat yang tulus.
http://m.kompasiana.com/post/read/660060/2/13000-km-aceh-jogja-keterpaksaan.html

0 comments: