(7) Darussalam to 'Darussalam' : Ustad Mizaj Iskandar

9:55 PM zakiul fahmi van jailani van hamzah van abdullah 2 Comments

  Setiap pulang ke Aceh, selalu saja ada setangkup rindu yang membuncah dalam dada ini ingin pulang ke Jogja. Satu hal yang membuatku selalu rindu adalah atmosfir belajarnya yang sangat mendukung. Pustaka yang besar, toko buku murah dan yang paling dirindukan adalah majelis ilmu agama setiap sore. Khusus untuk majelis ilmu agama, rindunya semakin istimewa, lantaran setiap selesai pengajian, pihak masjid menyediakan makanan berbuka puasa atau snack biasa.  Hehe. Tidak jarang pula kami terpukau karena beberapa kali mendapatkan jatah makanan nasi kotak yang sangat mewah lauk pauknya. Nasi kotak itu di sponsori oleh pengusaha-pengusaha muslim yang dermawan.
   Hal ini belum berkembang di Banda Aceh dan detik-detik yang kebanyakan kuhabiskan disini yaitu di majelis warung kopi ketimbang di majelis ilmu, semakin membuatku ingin kembali ke Jogja.
   Namun rindu itu sedikit terobati sejak ayahku memperkenalkan suatu pengajian yang diampu oleh Ustad dr. Mizaj Iskandar, Lc. Sejak itu, aku tidak pernah absen mendengarkan pengajian rutin beliau setiap mingu pagi, senin malam, selasa malam, rabu malam, kamis malam dan jumat malam di berbagai tempat di Banda  Aceh. Ustad Mizaj memiliki pengetahuan yang luas tentang filsafat islam, tasawuf dan fikih. Tiga ilmu yang tidak pernah benar-bemar akur dalam sejarah umat islam.
   Shubuh hari ini, tanggal 15 januari 2017, saya seperti biasa menghadiri pengajian rutin yang diampu oleh ustad Mizaj Iskandar. Bakda shubuh setiap Ahad, ustad lulusan mesir ini memberi pencerahan kepada umat dengan tafsir Al-Munir. Yang seharusnya dikupas pagi ini adalah Al-Baqarah 97 dan seterusnya. Tapi, beliau justru mengupas lebih dalam Al-Baqarah 96 :


وَلَتَجِدَنَّهُمْ أَحْرَصَ النَّاسِ عَلَىٰ حَيَاةٍ وَمِنَ الَّذِينَ أَشْرَكُوا ۚ يَوَدُّ أَحَدُهُمْ لَوْ يُعَمَّرُ أَلْفَ سَنَةٍ وَمَا هُوَ بِمُزَحْزِحِهِ مِنَ الْعَذَابِ أَنْ يُعَمَّرَ ۗ وَاللَّهُ بَصِيرٌ بِمَا يَعْمَلُونَ

"dan sungguh kamu akan mendapati mereka, manusia yang paling loba kepada kehidupan (di dunia), bahkan (lebih loba lagi) dari orang-orang musyrik. masing-masing mereka ingin agar diberi umur seribu tahun, Padahal umur panjang itu sekali-kali tidak akan menjauhkannya daripada siksa. Allah Maha mengetahui apa yang mereka kerjakan"

   Satu persatu bagian ayat di kupas oleh ustad Mizaj yang ternyata pernah satu kelas dengan abang saya di MIN 1 Banda Aceh dulu sekali. Seperti biasa, jika ada pelajaran yang menarik, saya akan mencatatnya di telepon pintar. Dalam pembahasan perbedaan umat islam dengan umat lainnya, ustad Mizaj menjelaskan bahwa dalam tradisi Islam, yang justru di rayakan adalah kewafatan seseorang, bukan kelahirannya. Jika merayakan hari lahir lazim populernya disebut ulang tahun atau maulid, maka merayakan kewafatan disebut dengan haul. Tradisi ini berlaku bagi tokoh, ulama, raja hingga masyarakat biasa. Namun tidak berlaku bagi nabi dan rasul karena mereka juga dianjurkan untuk merayakan kelahirannya.
   Mengapa demikian?
   Karena dalam tradisi Islam, merayakan kewafatan berarti merayakan berbagai keberhasilan yang pernah diraihnya di masa hidupnya. Tradisi ini begitu mengakar hingga-hingga Fakultas Kedokteran di Universitas Teheran alih-alih merayakan dies natalis seperti kebiasaan dunia akademik, mereka justru mengadakan haul memperingati wafatnya bapak dokter dunia yang merupakan seorang muslim yaitu Ibnu Sina.
   Penjelasan ini panjang lebar di paparkan oleh ustad Mizaj padahal hanya berangkat dari satu kata saja dalam ayat tersebut yaitu :
يُعَمَّرَ
yang artinya adalah usia, bukan umur. Apparently, umur dan usia berbeda arti dalam bahasa Arab. Tapi saya lupa penjelasan lebih detilnya. Menyesal baru datang kemudian, hehe.
Ustad Mizaj Iskandar


1000 dan Keimanan Kita
   Kemudian ustad Mizaj yang baru saja meraih gelar doktor nya baru-baru ini lagi-lagi menjelaskan panjang lebar ada apa dibalik sebuah kata dalam potongan ayat tersebut. Kali ini, potongan katanya adalah :
أَلْفَ
yang secara harfiah artinya adalah seribu.
   Begini penjelasannya yang sangat memukau membuat saya terinspirasi mengabadikan penjelasan tersebut dalam tulisan ini. Bahwa rentang pemahaman masyarakat Arab kuno saat itu terhadap angka hanya mencapai 1000 (baca : seribu) saja karena diatas angka tersebut, masyarakat Arab kuno tidak mengerti angka melebihi angka tersebut. Sebagai contoh, ustad Mizaj mengutip ayat Al-Quran yang menjelaskan tentang umur nabi Nuh yang disebut dalam Al-Quran sebagai 1000 tahun 'illa'('illa' artinya kecuali) 50 tahun. Logika simpel dari ayat tersebut adalah umur nabi Nuh berjumlah 950 tahun. Lalu mengapa tidak langsung mengatakan 950 tahun? Itulah bagaimana Allah menyampaikan informasi kepada masyarakat Arab kuno dengan tingkat pemahaman mereka dan tradisi yang lebih dekat dengan mereka.
   Perlu diingat bahwa satuan nol (0) baru ditemukan dan dirumuskan pada abad kedua Hijriyah. Baru setelah itulah, perlahan-lahan pemahaman rentang angka semakin membesar dan lalu peradaban manusia merangkak hingga maju seperti yang kita rasakan saat ini. Nol (0) ternyata memiliki kekuatan yang sangat besar terhadap perkembangan pengetahuan manusia. Oleh karena nalar masyarakat Arab kuno hanya mencapai angka 1000 saja, maka dalam Al-Quran, pada umumnya Allah berbicara kepada masyarakat Arab kuno dengan menggunakan angka 1000 (seribu), lebih mendalam ustad Mizaj mengatakan, untuk mengatakan 'tak terhingga' dalam bahasa manusia modern saat ini.
   Majelis ilmu semakin menarik ketika seorang jamaah melontarkan beberapa pertanyaan kritis. Diantarnya adalah bahwa ada ayat yang menyebutkan angka 5000 (baca: lima ribu). Bagaimana penjelasannya ini?
  Dengan tenang tanpa berpikir berusaha mencari jawaban, ustad Mizaj ternyata telah memiliki jawabannya sendiri. Al-Quran itu abadi, merupakan mukjizat yang tidak hanya diperuntukkan untuk masyarakat saat diturunkan saja, melainkan juga diperuntukkan kepada masyarakat akhir zaman. Oleh karena itulah pengetahuan-pengetahuan yang diluar nalar saat itu pun sering disampaikan melalui Al-Qur'an. Pun begitu, umat Muslim saat itu tetap beriman walau mereka juga tidak mengerti apa yang disampaikan dalam Al-Qur'an.
   Setelah penjelasan tersebut, diskusi kembali berjalan. Lelaki yang sama yang tadi melontarkan pertanyaan kritis kali ini sekali lagi mempertanyakan mengapa nabi Muhammad disebut sebagai seorang nabi yang 'ummi' yang artinya beliau tidak bisa membaca dan menulis.
   Penjelasan dari pertanyaan ini sekali lagi memukau, betapa tidak rugi saya datang pagi-pagi sekali berangkat dari Lambhuk ke masjid Jami' UNSYIAH Darussalam ini untuk mengemis ilmu dari ustad Mizaj Iskandar, my new hero!
   Dari sekian banyak masyarakat Mekkah saat itu, ustad Mizaj memaparkan, hanya 12 orang yang tidak bisa membaca-menulis. Ya, hanya 12. Itu artinya tingkat buta aksara di masa itu lebih rendah daripada masyarakat manapun di masa sekarang di kota manapun di dunia? Benar. Tapi dalam masyarakat Arab kuno, orang yang bisa membaca-menulis justru dianggap sebagai orang bodoh. Mengejutkan sekali memang. Orang yang bisa membaca-menulis dianggap bodoh karena ingatannya tidak kuat sehingga harus mencatat dan membaca ulang informasi yang diberikan atau yang diproduksi oleh dirinya sendiri. Nah, dari 12 orang itu, salahsatunya adalah nabi Muhammad SAW yang berarti bahwa Rasulullah adalah salahsatu jenius saat itu. Namun dari 12 orang itu, bahkan dari seluruh makhluk lintas waktu, lintas zaman, lintas alam, nabi Muhammad adalah manusia tercerdas karena dikaruniai oleh Allah tingkat pemahaman yang sangat luar biasa. Sang Rahmatan lil 'Alamin bisa memahami alam semesta beserta isinya dan hukum-hukum yang berlaku didalamnya.
   Jika masyarakat Arab kuno saat itu hanya paham rentangan angka dibawah 1000 saja, maka Rasulullah paham rentangan angka jauh diatas itu hingga tak berhingga. Pun begitu, Rasullullah tetap berbicara, berinteraksi dan menyampaikan sesuai dengan tingkat nalar masyarakat saat itu.
   Salah satu yang membuat cinta dan rindu kita terhadap Rasulullah semakin membuncah adalah kisah bagaimana beliau shallallahu 'alaihi wassalam suatu hari bertanya pada seorang wanita usia lanjut dengan pertanyaan dimakah Allah? Saat itu beliau sedang berjalan bersama Ali bin Abi Thalib dan seorang sahabat lainnya. Mereka dikenal sebagai sahabat yang cerdas yang rentangan pemahaman angkanya lebih dari 1000. Nenek itu kemudian menunjuk keatas, yaitu kearah langit. Ali bin Abi Thalib kemudian tersinggung serta hendak meninju nenek tersebut, begitu papar ustad Mizaj Iskandar. Namun Rasulullah mencegah Ali dan justru tersenyum kepada nenek tersebut walaupun jawabannya salah karena Allah bukan bersemayam diatas, atau diatas langit, karena itu memiliki makna bias dan relatif.
   Begitulah cara Rasulullah berkomunikasi kepada umatnya. Betapa mengharukan mengingat beliau adalah orang tercerdas di zamannya bahkan di zaman manapun, tapi tidak sedikitpun beliau sombong ingin menunjukkan pengetahuannya yang sangat melimpah.
   Mari menelusuri warisan-warisan hebat lainnya dari Rasulullah dan agama Islam melalui keindahan bahasa Al-Qur'an. Khususan untuk anak-anak muda Aceh, mari ramaikan pengajian ustad Mizaj Iskandar dan serap ilmu sebanyak-banyaknya dari beliau.
   Berikut saya lampirkan jadwal kajian beliau yang saya dapatkan dari tautan http://masjidlovers.blogspot.co.id/2015/10/jadwal-pengajian-ustadz-mizaj-iskandar.html 

NO
PENGAJIAN
HARI
WAKTU
LOKASI
1
Kajian Islam
Minggu
Ba’da Shubuh
Masjid Jami’ Kopelma Darussalam
2
Kajian Islam
Senin
Ba’da Maghrib
Masjid Al-Hasyimiah Lamnyong
3
Kajian Islam
Selasa
Ba’da Isya
Balai Pengajian Kompleks Meusara Agung
4
Kajia Fiqh
Rabu
Ba’da Maghrib
Masjid Baiturrahim Ulee Kareng
5
Kajian Kitab Bidayah wa Nihayah
Kamis
Ba’da Maghrib
Masjid Agung Al-Makmur
6
Kajian Tauhid Al-Ihya Ulumuddin
Jum’at
Ba’da Maghrib
Masjid An-Nur Ie Masen Kaye Adang
7
Kajian Tafsir Al Munir
Sabtu
Ba’da Maghrib
Masjid Al Badar Lampineung (Di seberang kantor Gubernur Aceh. Di seberang islamic center baru)

2 comments: