Aceh,

(6) Darussalam to 'Darussalam' : Ekonomi Kreatif

8:17 PM zakiul fahmi van jailani van hamzah van abdullah 0 Comments

Sudah menjadi salahsatu kebiasaan, bagi seorang anak perantauan setelah atau ketika waktu kelulusannya sudah semakin mendekati, mereka merasakan keresahan. Terutama keresahan bagaimana akan mengarungi derasnya arus tantangan lautan dunia yang luas dengan terputusnya beasiswa dari orangtua. Sebagai keturunan bangsa Aceh, keresahan itu menjadi berlipat ganda pada angka eksponensial karena kualitas sumber daya manusia Aceh yang sangat rendah sehingga sulit ketika bersaing dengan orang lain pada tingkat nasional. Satu-satunya cara lain adalah dengan pulang kembali ke Aceh dan berkarir disana. Namun, masalah lain telah menunggu, tidak adanya lapangan pekerjaan.
Ternyata fakta mengiriskan ini belum berubah sejak puluhan tahun yang lalu. Setidaknya itu yang tergambar ketika Saya beberapa kali mengunjungi rumah salahsatu orangtua Aceh di Yogyakarta bernama pak Adrian. Beliau adalah seorang sarjana ahli kulit yang telah lama tinggal, bekerja dan bahkan menikah dengan wanita Yogyakarta. Beliau bercerita, dulu saat pertama lulus kuliah, seperti kebanyakan mahasiswa asal Aceh di luar daerah beliau langsung pulang ke tanoh indatu untuk bekerja dan memberi kontribusi untuk Aceh. 







Namun, pak Adrian harus dikecewakan karena keahlian beliau belum bisa berbuat banyak di Aceh. Yang beliau dengar adalah lagu lama : tidak ada lapangan pekerjaan. Lantas beliau pun memutuskan untuk kembali ke Jogja dan sampai saat ini berkarir sebagai ahli kulit di kota Malioboro.
Pengalaman yang berbeda di alami oleh beberapa teman saya yang setelah lulus dari studi di Jogja ataupun di daerah lain di pulau Jawa, harus dipaksa oleh waktu untuk pulang ke Aceh. Alsannya biasa : daripada terluntang-lantung di negeri orang, lebih baik menangis darah di tanah kelahiran sendiri meniti karir melakukan apa saja yang bisa dilakukan.
Ketersediaan lapangan pekerjaan, kualitas

sumber daya manusia, nampaknya sudah, masih dan akan terus menjadi msalah yang akan dihadapi oleh pemerintah Aceh. Masalah ini jika berlarut-larut akan memperlambat kemajuan ekonomi Aceh, apalagi indonesia pada awal 2016 akan memulai pasar bebas ASEAN dan Aceh adalah daerah ter depan dan terluar di ujung barat Indonesia yang akan mengalami dampaknya.
Bagi saya, sebagai salahsatu penerima APBD (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah) terbesar di Indonesia, Aceh seharusnya memfokuskan diri pada penyediaan lapangan pekerjaan. Apalagi, dana otonomi khusus yg diterima Aceh karena kompensasi konflik yg ditandatangan pasca damai itu akan habis jatahnya pada tahun 2027. Pada saat itu, jika Aceh blum bisa menciptakan pekerjaan yang berbasis pengetahuan dan industri ekonomi kreatif, maka Aceh bisa kewalahan.
Belajar dari Jogja, saya seringkali melihat anak muda yang bepergian kemana-mana dengan mobil, sesuatu yg jarang kita dapatkan di jalanan Banda Aceh kecuali satu dua saja dan itupun bisa dipastikan Mereka adalah anak dari salahsatu pejabat di Aceh. Ada dua kemungkinan mengapa di Jogja seorang anak muda memiliki mobil sebagai kendaraan pribadinya. Yang pertama, tentu saja mobil itu adalah hadiah dari orangtuanya, yang kedua, kemungkinan mereka adalah entrepreneur muda yang sukses.
Tidak heran melihat banyak anak muda di Jogja bahkan di kota2 besar lainnya di pulau Jawa yang sudah menjadi miliuner di masa yang sangat muda karena menjadi pengusaha. Memang banyak sekali dorongan utnuk menjadi pengusaha baik itu melalui sayembara lomba, seminar-seminar kewirausahaan yang diadakan hampir setiap hari, dukungan orangtua serta masyarakat dan pendanaan yang dikucurkan oleh pemerintah untuk para pengusaha muda. Konon, ekonomi Indonesia kembali bangkit dari keterpurukan setelah dihantam krisis moneter 1998 berkat UKM (Usaha Kecil Menengah) yang menjamur.
Menurut Saya, ada satu aspek yang perlu diperhatikan oleh pemerintah Aceh jika ingin membangun dasar perekonomian Aceh yang kuat di masa mendatang. Sebagai informasi, kegiatan ekonomi manusia pada awalnya sekitar 10.000 tahun sebelum masehi hingga tahun 1800- an bergantung pada aktifitas bercocok tanam yang menggunakan kekuatan otot fisik untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka. Setelah ditemukannya mesin uap oleh James watt pada tahun 1800-an yg kemudian disebut sebagai revolusi industri, manusia mulai menggantungkan aktifitas ekonominya pada kinerja mesin dan disini manusia sudah mulai memasuki era industri. Zaman terus berubah hingga manusia menemukan cara untuk berkomunikasi jarak jauh dan mengirimkan informasi secara cepat dan real time ke bagian dunia lain. Komputer dan internet telah membawa manusia pada era informasi. Seiring berkembangnya era informasi, ada satu aktifitas ekonomi lain yang berkembang mengikuti dan tak bisa dianggap remeh. Ia dikenal dengan sebutan industri ekonomi kreatif. Bayangkan, bill gates memiliki kekayaan yang seatra bahkan jauh lebih banyak dengan pendapatan yang dimiliki oleh sekumpulan negara di dunia. Tidak hanya bill gates, band terkenal The Beatles yang eksis pada tahun 1960-an yang sudah lama tidak manggung lagi itu, sampai hari ini masih saja ada uang yang mengalir kedalam kantong mereka karena hak cipta lagu dan penjualan album mereka yang masih saja ada yang berminat. Masih bnyak contoh-contoh lainnya lagi dan pemerintah Aceh sebaiknya melihat potensi pasar industri kreatif ini. Tanpa meninggalkan perhatian pada dunia cocok tanam dan dunia industri model lama.







You Might Also Like

0 comments: