Internet Aceh dan Tantangan Global

2:11 PM zakiul fahmi van jailani van hamzah van abdullah 0 Comments

    Menerawang dunia maya di Aceh bagai menyaksikan fenomena gunung es di Kutub Utara. Puncaknya kecil dan indah, namun menyimpan banyak rahasia dalam bongkahan besar es di bawah dasar laut. Ingin hasrat kita mendekatinya, namun sebelum sampai pada puncaknya kita telah tenggelam bersama karamnya kapal karena tertabrak karang es yang besar di bawahnya.

   Setidaknya perasaan itulah yang dirasakan oleh
peserta diskusi bersama di Asrama Keluarga Aceh Besar Yogyakarta pada Senin (5/11) lalu. Kita melihat antusiasme masyarakat terhadap dunia teknologi informasi sangat baik ditunjang dengan fasilitas-fasilitas yang disediakan pemerintah, namun internet kini malah menggerus kebudayaan dan keyakinan generasi muda Aceh.
   Diskusi yang menghadirkan Muda Bentara sebagai pembicara ini pada mulanya membahas tentang pengalaman pembicara yang baru saja pulang selepas mengikuti Indonesia Internet Governance Forum di Jakarta. Diskusi akhirnya mengerucut kepada permasalahan internet di Aceh. Di tengah-tengah kemajuan serta ambisi pemerintah mengedukasi masyarakat  dengan internet, di Aceh sendiri, internet masih menjadi masalah. Khususnya terkait moralitas penggunanya.
   
   Indonesia Internet Governance Forum
   Dalam laporan Peran Internet Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia yang dirilis oleh Deloitte Access Economics mewakili Google Asia Pasifik, menjelaskan kontribusi manfaat Internet terhadap ekonomi Indonesia mencapai 1,6 persen atau sekitar Rp116 triliun atau setara 13 miliar dollar AS dari total Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia di tahun 2011.
   Laporan tersebut menunjukkan signifikansi dampak internet bagi ekonomi suatu negara. Indonesia sendiri memiliki lebih dari 55 juta pengguna internet. Itu artinya, pengguna internet Indonesia saja lebih banyak tiga kali lipat dibanding dengan jumlah seluruh rakyat Australia yang hanya berjumlah 20 juta jiwa, kata Muda Bentara, pembicara yang merupakan mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Syiah Kuala tersebut.
   Hasil deklarasi dan rekomendasi forum di Indonesia lalu, diakui Muda Bentara, akan dibawa ke Azerbaijan sebagai masukan terhadap forum tata kelola internet dunia yang diprakarsai oleh PBB untuk merumuskan secara bersama pengelolaan internet Dunia.
   Ide pengelolaan internet dunia tersebut muncul sebagai jawaban atas kisruh internet selama ini yang kerap terjadi antara Timur dan Barat. Misalkan isu Innocence Of Muslim akhir-akhir ini ataupun masalah hak cipta dan pelanggaran-pelanggaran lainnya.
   Dalam diskusi yang berlangsung selama 3 jam tersebut, Muda Bentara menjelaskan bahwa kini ada 2 kutub internet di dunia. Internet yang sangat bebas di dunia Barat dan internet tertutup/terbatasi seperti di China. Dalam ID-IGF sendiri, Indonesia tidak memilih kutub tertentu. Indonesia cenderung berada di jalan tengah, yaitu memberi kebebasan tapi juga membuat batasan-batasan, papar pembicara.
   
   Internet Aceh
    Salah seorang peserta diskusi, Imam, tertarik untuk mengetahui lebih dalam perihal judi online serta pornografi yang marak di akses oleh pengguna internet di Aceh belakangan ini. Imam yang juga Ketua BEM di Universitas Ahmad Dachlan ini pun bertanya perihal tindakan yang telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk urusan tersebut.
   Tindakan pencegahan seperti pemblokiran dan sebagainya telah dilakukan oleh pemerintah. Contohnya saja Menteri Komunikasi dan Informasi Tifatul Sembiring telah berkomitmen untuk memblokir situs porno dari internet Indonesia. Kemudian, pemerintah juga menyediakan Nawala Project untuk masyarakat yang ingin memproteksi internet diri dan keluarganya dari konten negatif seperti judi, pornografi, terorisme, dan hal buruk lainnya. Indonesia juga telah menerbitkan dan menerapkan UU ITE (Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik).
   Untuk kasus di Aceh sebagai Serambi Mekkah serta menerapkan syariat Islam sendiri, kasus pornografi sangat menyesakkan dada para peserta diskusi. Fakta-fakta tersembunyi mengungkapkan bagaimana selama ini warung-warung internet di Aceh, khususnya Banda Aceh ada beberapa warnet yang menyediakan folder khusus arsip video-video dewasa yang ditawarkan kepada pelanggan. Pelanggan tinggal datang menonton di tempat atau meng-copy-paste ke penyimpan data pribadinya. Belum lagi ada beberapa warnet yang telah terkenal reputasinya sebagai tempat yang ‘aman’ untuk bermesum ria. Baru-baru ini juga terungkap sepasang guru yang melakukan hubungan suami-istri terlarang di dalam bilik sebuah warnet.
   Muda Bentara yang aktif memberi penyuluhan internet sehat di Aceh juga mengaku pernah mendapati seorang anak kecil mengakses situs porno di warnet. Warnet, karena tidak adanya kontrol dari pemerintah daerah serta minimnya pengawasan orang tua, kini menjadi ancaman bagi anak-anak Aceh. Dua hal yang menjadi momok bagi masa depan mereka yaitu pornografi dan game online.
   Faiz, seorang peserta diskusi lainnya menjelaskan bahwa game online di Aceh telah menjadi narkoba baru bagi anak-anak. Anak-anak menjadi kecanduan dan cenderung konsumtif dengan game online. Sehari saja, seorang anak kecil bisa menghabiskan uang sampai 20 ribu rupiah, sama seperti harga sebungkus atau dua bungkus rokok bagi orang dewasa, papar Faiz.
   Situs pornografi sendiri, memang benar telah diblokir oleh pemerintah. Namun papar Faiz yang juga mahasiswa TI di Amikom Yogyakarta, untuk membuka blokiran tersebut sangatlah mudah dan tidak menjadi rahasia lagi di kalangan pengguna internet. Bahkan, ada modem dan operator penyedia layanan internet yang membuka akses penuh terhadap situs pornografi alias tidak memblokirnya seperti modem dan operator penyedia layanan internet lainnya.
   Pada diskusi ini semua peserta diskusi beserta pembicara sangat berharap Aceh dapat menjadi daerah dengan Internet sehat yang terbebas dari konten negatif sehingga generasi muda dapat memaksimalkan potensinya. Namun selama ini Aceh belum memiliki blue print yang jelas ke mana arah perkembangan Dunia TI (Teknologi Informasi) kita yang bersyariat.
   Muda Bentara pun memberi usul kepada pemerintah daerah Aceh untuk duduk dan berdiskusi bersama dengan para pegiat TI di Aceh membahas rencana TI Syariah di Aceh. Banyak dari pegiat TI di Aceh mau bersuka rela untuk duduk berdiskusi dengan pemerintah dan tidak mengharapkan dana dari pemerintah demi niat memajukan internet Aceh yang bersyariat dan bermoral, jelas Muda Bentara.
    Tahun 2015, PBB menargetkan setengah dari penduduk dunia dapat mengakses internet. Sebelum hal tersebut benar-benar terjadi, semoga internet Aceh sudah dapat terbebas dari konten negatif. Jika memungkinkan, gunakan hak istimewa Undang-Undang Pemerintah Aceh untuk menjadikan internet Aceh berdaulat dari paparan negatif judi, pornografi, game online,  dan sebagainya.

#DIMUAT DI THEGLOBEJOURNAL.COM pada 09 NOVEMBER 2012

You Might Also Like

0 comments: