Aceh,
(6) Darussalam to 'Darussalam' : Ekonomi Kreatif
Sudah menjadi salahsatu
kebiasaan, bagi seorang anak perantauan setelah atau ketika waktu kelulusannya sudah semakin
mendekati, mereka merasakan keresahan. Terutama keresahan bagaimana akan
mengarungi derasnya arus tantangan lautan dunia yang luas
dengan terputusnya beasiswa dari orangtua. Sebagai keturunan
bangsa Aceh,
keresahan itu menjadi berlipat ganda pada angka eksponensial karena
kualitas sumber daya manusia Aceh yang sangat rendah sehingga
sulit ketika bersaing dengan orang lain pada tingkat
nasional. Satu-satunya cara lain adalah dengan pulang kembali ke
Aceh dan berkarir disana. Namun, masalah lain telah menunggu, tidak adanya
lapangan pekerjaan.
Ternyata fakta mengiriskan
ini
belum
berubah
sejak puluhan tahun yang lalu. Setidaknya itu yang tergambar ketika Saya beberapa kali mengunjungi rumah
salahsatu orangtua Aceh di Yogyakarta bernama pak Adrian.
Beliau adalah seorang sarjana ahli kulit yang telah lama tinggal,
bekerja dan bahkan menikah dengan wanita Yogyakarta. Beliau
bercerita, dulu saat pertama lulus kuliah, seperti kebanyakan mahasiswa asal Aceh
di luar daerah beliau langsung pulang ke tanoh
indatu untuk bekerja dan memberi kontribusi untuk Aceh.
Namun, pak Adrian harus dikecewakan karena keahlian beliau belum bisa berbuat banyak di Aceh. Yang beliau dengar adalah lagu lama : tidak ada lapangan pekerjaan. Lantas beliau pun memutuskan untuk kembali ke Jogja dan sampai saat ini berkarir sebagai ahli kulit di kota Malioboro.
Namun, pak Adrian harus dikecewakan karena keahlian beliau belum bisa berbuat banyak di Aceh. Yang beliau dengar adalah lagu lama : tidak ada lapangan pekerjaan. Lantas beliau pun memutuskan untuk kembali ke Jogja dan sampai saat ini berkarir sebagai ahli kulit di kota Malioboro.
Pengalaman yang berbeda di
alami oleh beberapa teman saya yang setelah lulus dari studi di Jogja ataupun di
daerah lain di pulau Jawa, harus dipaksa oleh waktu untuk pulang ke Aceh. Alsannya biasa : daripada
terluntang-lantung di negeri orang, lebih baik menangis
darah di
tanah kelahiran sendiri meniti karir melakukan apa saja yang bisa dilakukan.
Ketersediaan lapangan
pekerjaan, kualitas
sumber daya manusia, nampaknya sudah, masih dan akan
terus menjadi msalah yang akan dihadapi oleh
pemerintah Aceh. Masalah ini jika berlarut-larut akan memperlambat
kemajuan ekonomi Aceh, apalagi indonesia pada awal 2016 akan memulai pasar
bebas ASEAN dan Aceh adalah daerah ter depan dan terluar di
ujung barat Indonesia yang akan mengalami dampaknya.
Bagi saya, sebagai salahsatu
penerima
APBD (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah) terbesar di Indonesia, Aceh seharusnya
memfokuskan
diri pada penyediaan lapangan pekerjaan. Apalagi, dana otonomi
khusus yg diterima Aceh karena kompensasi konflik yg ditandatangan pasca damai itu akan habis jatahnya
pada
tahun 2027. Pada saat itu, jika Aceh blum bisa menciptakan pekerjaan yang
berbasis pengetahuan dan industri ekonomi kreatif, maka Aceh bisa kewalahan.
Belajar dari Jogja, saya
seringkali melihat anak muda yang bepergian kemana-mana dengan mobil, sesuatu
yg jarang kita dapatkan di jalanan Banda Aceh kecuali satu dua saja dan itupun bisa
dipastikan Mereka adalah anak dari salahsatu pejabat di Aceh. Ada dua
kemungkinan mengapa di Jogja seorang anak muda memiliki mobil sebagai
kendaraan pribadinya. Yang pertama, tentu saja mobil itu adalah hadiah dari orangtuanya,
yang kedua, kemungkinan mereka adalah entrepreneur muda yang sukses.
Tidak heran melihat banyak
anak muda di Jogja bahkan di kota2 besar lainnya di pulau Jawa
yang sudah menjadi miliuner di masa yang sangat muda karena menjadi
pengusaha. Memang banyak sekali dorongan utnuk menjadi pengusaha baik
itu melalui sayembara lomba, seminar-seminar kewirausahaan yang diadakan hampir setiap hari,
dukungan orangtua serta masyarakat dan pendanaan yang dikucurkan oleh
pemerintah untuk para pengusaha muda. Konon, ekonomi Indonesia kembali bangkit
dari keterpurukan setelah dihantam krisis moneter 1998 berkat UKM (Usaha
Kecil Menengah) yang menjamur.
Menurut Saya, ada satu aspek
yang perlu diperhatikan oleh pemerintah Aceh jika ingin membangun dasar
perekonomian Aceh yang kuat di masa mendatang. Sebagai informasi, kegiatan
ekonomi manusia pada awalnya sekitar 10.000 tahun sebelum masehi hingga tahun
1800- an bergantung pada aktifitas bercocok tanam yang menggunakan kekuatan
otot fisik untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka. Setelah ditemukannya mesin
uap oleh James watt pada tahun 1800-an yg kemudian disebut sebagai revolusi
industri, manusia mulai menggantungkan aktifitas ekonominya pada kinerja mesin dan
disini manusia sudah mulai memasuki era industri. Zaman terus
berubah hingga manusia menemukan cara untuk berkomunikasi jarak jauh dan
mengirimkan informasi secara cepat dan real time ke bagian dunia lain. Komputer
dan internet telah membawa manusia pada era informasi. Seiring berkembangnya
era informasi,
ada satu aktifitas ekonomi lain yang berkembang mengikuti dan tak bisa dianggap
remeh. Ia dikenal dengan sebutan industri ekonomi kreatif.
Bayangkan, bill gates memiliki
kekayaan yang seatra bahkan jauh lebih banyak dengan pendapatan yang
dimiliki oleh sekumpulan negara di dunia. Tidak hanya
bill gates, band terkenal The Beatles yang
eksis pada tahun 1960-an yang sudah lama tidak
manggung
lagi itu, sampai hari ini masih saja ada uang yang mengalir
kedalam kantong mereka karena hak cipta lagu dan penjualan album mereka yang
masih saja ada yang berminat. Masih bnyak contoh-contoh lainnya lagi dan
pemerintah Aceh sebaiknya melihat potensi pasar industri kreatif ini. Tanpa
meninggalkan perhatian pada dunia cocok tanam dan dunia industri model lama.
0 comments: