Showing posts with label merantau. Show all posts

Detak-detik lika liku sepanjang lorong altar ilmu Eropa (1): Ketidaktahuan

*Tulisan ini ditulis pada 28 November 2019, tapi baru kali ini sempat di publish

Lama nian rasanya tidak memamerkan kebodohan diri melalui media blog ini. Bukanlah karena tak tersisa lagi kebodohan diri ini yang hendak dipamerkan, melainkan waktu yang tak mengizinkan, membuat diri ini kembali berkotemplasi: bilakah kita tersadar bahwa manusia tak bernilai apa-apa jika dihadapkan dengan "waktu".

Namun, kebodohan dan kesalahan yang pernah kucoba lakukan dalam ruang-ruang waktu di masa laluku telah membawaku ke salah satu mimpi sekaligus ketakutan terbesar dalam hidupku:
Mencecap wawasan di altar ilmu pengetahuan di benua Eropa.


Beberapa buah manisnya memang jelas terasa: melihat dunia, berkenalan dengan dunia dan budaya baru, serta mencicip kebijaksanaan peradaban-peradaban lalu berbagai bangsa dunia.

Namun susah payah yang getir tak sedikit yang tereguk jua.

Bolehlah rasanya bilamana kita mengangguk setuju pada kutipan kata bijak berikut:
Apa yang kamu saksikan, tergantung pada posisi dimana kamu berdiri.
(C.S. Lewis dalam The Chronicles of Narnia).

Sudah tak terhitung lagi berapa kali telinga ini mengembang bagai balon kala mendengar orang memuji bahwa kesempatan menjejak kaki ke Eropa, adalah salah satu bentuk tertinggi kesuksesan dunia.

Ternyata eh ternyata, niscaya tak sedikit pula yang akan mengatakan tidak. Eropa dengan segala keindahannya memang menawarkan banyak kenikmatan, namun pada saat yang bersamaan juga ia membenturkan realitas yang sangat kentara bagi diri ini:

K-i-t-a     t-e-l-a-h     t-e-r-t-i-n-g-g-a-l 




Singkat cerita, setahun lah diri ini telah menghirup udara bersih dan dingin Eropa. Aku tinggal di sebuah kota kecil nan modern bernama Wageningen, 80 kilometer dari Amsterdam si ibukota Belanda. Saat ini, aku sedang menyusuri satu dari dua lorong terakhir dalam masa studi masterku. Sebuah lorong yang penting tapi pada saat yang bersamaan juga gelap, sepi, menakutkan, serta krusial. Lorong itu bernama:
Tesis.

Satu lorong terakhir lainnya bernama: Internship (baca: magang).

Setelah tiga bulan menulis proposal tesis, perasaan tertinggal yang nyata itu semakin jelas terasa dalam pikiranku. Tiga bulan bukanlah durasi yang normal untuk menulis sebuah proposal, kawannn.... 

"Tidak bagi topik penelitian yang sesimpel ini," kata tiga supervisor ku. Ya, aku punya tiga supervisor (baca: pembimbing). Pembimbing pertama adalah salah satu dari hanya dua profesor yang ada di fakultas ku. Bayangkan bagaimana perasaanmu di kritik oleh profesor yang limited edition di fakultas mu. Apa boleh dikata, aku pun mengakui, sadar dan setuju dengan argumen itu.

Pergulatanku dengan ketidaktahuanku sendiri sebenarnya sudah berlangsung selama setahun terakhir ini. Sudah tak terhitung lagi berapa kali aku menundukkan serta menggeleng-gelengkan kepala, sesekali menghela nafas yang sangat panjang saat aku melangkahkan kaki keluar dari kelas setelah menghadiri sesi-sesi kuliah dalam bahasa Inggris ber aksen Belanda yang kental, dan tak satupun yang aku benar-benar mengerti. Awalnya aku merasa hanya diri ini yang merasakan hal serupa. Namun ternyata kebanyakan teman-teman Indonesia ku juga merasakan hal yang sama. Pada momen-momen seperti itu, terbetik dalam fikiranku: kita perlu membenahi kurikulum bahasa Inggris kita di sekolah, pesantren, dan di ruang-ruang publik.

Gagal dan Gagal Lagi
Selama setahun ini, aku telah gagal dalam tiga mata kuliah. Bahkan salah satu dari mata kuliah itu, aku harus mengikuti ujian ulangannya sebanyak empat kali.

Empat kali!

Berkat rahmat dan iradat - Nya, aku berhasil membuat dosen-dosenku terpaska meluluskan semua mata kuliahku tepat waktu sebelum tahun kedua dimulai, meninggalkanku dengan perasaan bahwa aku sudah tertinggal jauh, tidak faham sepenuhnya dan merasa yang paling bodoh.

Tapi waktu terus berjalan dan proses-proses harus tetap di jalani. Hingga tibalah pada saatnya aku harus memilih topik tesis. Berkaca pada performa studiku selama setahun kebelakang, aku pun membuat sebuah strategi: hindarilah topik tesis yang berkaitan dengan Remote Sensing (terjemahan: Penginderaan Jarak Jauh), yaitu mata kuliah yang aku harus mengulang empat kali itu. Hindari juga topik tesis yang berkaitan dengan pertanian, walau fakta berkata bahwa kampus Wageningen ini adalah kampus nomor 1 bidang pertanian di dunia. Sekali lagi: nomor 1 di dunia!!!

Strategiku terbukti ampuh, ternyata ada banyak topik tesis diluar sana. dan aku akhirnya memilih topik tesis yang berkaitan dengan pemrograman (karena latar belakang sarjana ku di bidang informatika), dengan studi area di kawasan perkotaan (baca: urban context). Aku mengambil proyek dari dosen, serta mengundurkan diri dari kesempatan mengajukan topik tesis sendiri.

Awalnya aku punya kesempatan yang sangat besar untuk mengajukan topik tesisku sendiri. Itu dikarenakan beberapa waktu sebelum batas waktu pemilihan topik tesis, aku berhasil menembus sebuah konferensi international di Inggris bernama ISIC PPI UK 2019 dengan menggunakan artikel ilmiahku dengan topik: penilaian infrastruktur data spasial di Indonesia. Boleh dibaca artikel tersebut di tautan berikut ini. Seorang dosen menawariku untuk memperluas cakupan artikel ilmiahku tersebut agar bisa diajukan sebagai sebuah topik tesis. Tapi singkat cerita aku lebih memilih topik lain yang lebih menantang.

Gayung bersambut, ada satu topik yang menarik perhatianku. Lebih beruntung lagi, algoritma yang digunakan adalah algoritma yang familiar dengannku. Aku pernah menggunakannya dulu saat menyelesaikan skripsi sarjanaku: algoritma K-Means clustering.

Naifnya diriku, ternyata setelah menulis naskah proposal tesisku yang pertama, ternyata tidak semudah itu. Tak kusangka pada akhirnya aku harus mengulang-ulang tulisan itu hingga 10 kali revisi untuk pada akhirnya bisa dikirim kepada pengulas (reviewer). Sebagai info, di kampus Wageningen ini, setiap chair group (semacam fakultas di Indonesia), dibebaskan untuk membuat sistem akademisnya sendiri. Didalam chair group ku, mahasiswa tak perlu mempresentasikan proposal tesis masternya, tidak seperti chair group lain yang mewajibkan hal tersebut. Bagiku, setiap mahasiswa hanya perlu menulis proposalnya dengan detil dan komprehensif lalu proposal tersebut akan dikirimkan kepada beberapa pengulas yang berasal dari lingkungan akademik chair group kami sendiri. Jika pengulas menganggap proposal seorang mahasiswa cukup dimengerti dan logis, mereka akan memberi lampu hijau. Itu berarti silahkan tesisnya di eksekusi sesegera mungkin. Sebaliknya jika belum cukup jelas, maka mereka akan mengembalikan proposal tersebut kepada mahasiswa untuk diperbaiki. Sedikit catatan, identitas para pengulas tersebut juga dirahasiakan dari mahasiswa. Mahasiswa mengirimkan proposal tersebut kepada study advisor (semacam guru pembimbing), lalu study advisor akan mengirim proposal tersebut kepada para pengulas. Dan apabila proposal belum cukup jelas dan belum cukup logis untuk mendapat lampu hijau, maka para pengulas justru akan memberi masukan (feedback) kepada supervisor (pembimbing tesis), bukan langsung kepada mahasiswa. Yang berarti bahwa para pengulas menganggap pembimbing tesis belum sepenuhnya benar dalam membimbing mahasiswa tersebut.

Naasnya dari tiga pengulas yang memeriksa proposal tesisku, satu pengulas memberi status No Go bagi proposalku, dengan dua pengulas lainnya memberi nilai 'cukup'. Aku pun memperbaiki proposalku dalam semalam dan kemudian bertemu dengan satu pengulas yang menolak proposalku tersebut. Setelah berdiskusi serta seolah-olah mengkonfirmasi beberapa bagian dari proposalku yang menurutku salah ia mengerti, akhirnya ia dengan sedikit terpaksa setuju dengan proposalku dan memberi status:
GO!

Begitulah kisah sekira 16 bulan pertamaku mencecap ilmu di altar ilmu pengetahuan Eropa, dibentur oleh ekspektasi akademik Belanda yang tinggi, dan terseok-seok bertahan dari ketidaktahuan dan kebingungan.

Tapi berkaca kebelakang pula, dikala perpisahan dengan keluarga di bandara Banda Aceh, hati ini tak karuan. Cemas, memikirkan apakah aku bisa? Bagaimana nanti jika gagal? Apa yang terjadi jika tak selesai kuliah? Apakah nanti ada teman? Adakah yang mau berteman dengan diri ini? Siapakah yang akan menjadi pelipur lara ketika tantangan menerjang?

Pertanyaan-pertanyaan itu seringkali muncul dan bertambah, namun tetap ada satu pesan Tuhan yang selalu diri ini pegang:

لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا وُسْعَهَا

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya (Al-Baqarah: 186).


Berikut merupakan foto perpisahan kami sekeluarga dulu dan aku masih tetap berdiri tegar disini (berkat do'a keluarga, berkah dan iradah dari Tuhan yang Maha Kuasa):


























(4) Darussalam to 'Darussalam' : Enakan mana? Aceh atau Jogja

21 Agustus 2014
    Saya sedang di Banda Aceh. Ada sebuah pertanyaan yang ditanyakan kepada Saya oleh bang Pandi. Pertanyaan ini muncul dari pernyataan Saya bahwa Saya tidak betah tinggal di Aceh. Memangnya, apa yang membuat tidak betah disini sementara disana betah? Apa hebatnya Jogja? Begitu kira-kira jika pertanyaannya di singkat.
    Well, Saya juga merasa bingung pada awalnya sehingga membuat Saya tergagap tidak tahu harus menjawab apa.
    Mati lampu? Ucap saya dalam hati. Di Aceh mmang sering mati lampu. Tapi hati Saya urung memerintahkan mulut untuk melontarkan pendapat itu karena setelah beberapa saat disini, wilayah tempat rumah Kami berada tidak begitu sering di usik oleh PLN dengan masalah energi Mereka di Sumatera.
    Motor terus melaju. Abang Pandi duduk di belakangku menjulurkan sedikit kepalanya kedepan meminta jawaban atas pertanyaannya.

    Hmmm ... Aku terdesak dan hampir saja ku ucapkan argumen terkenal tentang Yogya, makanan yang murah. Itu bukan alasan yang logis mengingat di Banda Aceh Aku makan secara gratis dan rasanya enak setinggi langit karena itu adalah makanan Ibu Kami yang sudah mendoktrin lidah Kami sejak kecil.
    Waduh. Abang Pandi masih menunggu di belakang. Ku tancap gas motorku sebagai bentuk pengalihan isu. Kami melaju berbelok ke arah kiri setelah melewati jembatan Lamnyong dan menuruni jalan menurun di samping sungai Aceh yang indah. Abang Pandi akhirnya teralihkan. Kepalanya tidak lagi mendongak kedepan. Tapi diamnya menunjukkan kekalahan ku karena tidak dapat menjawab pertanyaan tersebut padahal Aku sudah hampir empat tahun tinggal di Jogja namun belum bisa menjabarkan pesona antara tanah rencong dan Yogya. Lihatlah, bahkan untuk tulisan kotanya saja Saya bingung yang mana yang benar, apakah Jogja atau Yogya itu sendiri.
    Ramah? Aku terus berpikir walau abang Pandi sudah teralihkan. Nah, itu dia. Orang Jogja ramah-ramah. Beda dengan orang Aceh yang temperamental, curigaku karena pengaruh makanan Aceh yang banyak menggunakan rempah-rempah yang rajin mengusik emosi manusia. Pernah suatu ketika saat Aku sedang buru-buru dan harus ngebut di jalanan Jogja dengan motor, ternyata Aku tersenggol motor seorang ibu-ibu berjilbab dan berbaju jubah. Cuma tersenggol sedikit, tidak parah. Pun begitu, lazimnya orang akan marah mengingat secara umum, tingkat stress paling tinggi terdapat selama Kita di dalam perjalanan saat mengendarai motor. Tapi tidak dengan ibu ini. Beliau hanya tersenyum saja padaku. Sesaat Aku lupa akan keperluanku yang mendesak dan pada hari itu cintaku terhadap kota Jogja semakin merebak di hati melalui senyum wajah teduh ibu tersebut dan motor yang beliau kendarai.
    Berbeda dengan di Aceh. Terutama perilaku zigzag anak-anak muda di jalanan, belum lagi jalanan compang-camping serta perilaku-perilaku para pengendara motor dan mobil yang sangat mengesalkan.
    Mungkin salahsatu faktor lain yang pantas untuk aku utarakan adalah suasana kota yang tentram. Yogyakarta sendiri telah menjadi semacam destinasi akhir bagi pensiunan-pensiunan yang ingin menghabiskan waktu tua Mereka di Yogyakarta.
    Banyaknya acara atau hiburan juga menjadi faktor penting. Hampir setiap bulan ada saja acara-acara dalam berbagai level serta dalam berbagai jenis yang ada.  Salahsatu yang Aku suka adalah acara diskusi yang bertebaran dimana-mana. Diantara nya adalah Akademi Berbagi Jogja. Di akber ini, diskusi dihadiri oleh orang-orang hebat dalam bidangnya masing-masing dalam setiap topiknya. Yang paling menarik, semua acaranya tidak berbayar. Belum lagi tempat perhelatan acaranya yang diadakan di tempat-tempat yang sangat nyaman dan mewah.

    Ada lagi kajian islam yang diadakan rutin hampir setiap hari tersebar di masjid-masjid di yogyakarta. Bahkan, dalam sehari itu ada sampai 4 kajian di masjid-masjid berbeda. Bagi mahasiswa sepertiku, kajian Islam ini menarik tidak hanya karena menambah wawasan agama serta membuat hati tenang. Namun juga membuat perut kenyang dan dompet mengalami penghematan. Soalnya, setiap senin dan kamis, ada takjilan gratis pada akhir waktu kajian sore. Hehe.
    Pun begitu, hati ini tetap terpaut ke nanggroe tercinta. Suatu saat nanti, Aku berharap dapat membuat aceh senyaman hidup di jogja. Semoga Aceh dapat ramai dengan kegiatan-kegiatan positif. Semoga