Aceh,
(5) Darussalam to 'Darussalam' : Samadiah
31
Desember 2014
Sudah sejak tanggal 26 desember 2014
kemarin Aku pulang ke Aceh. Banyak teman-teman bertanya, untuk apa? Padahal Aku
belum selesai kuliah. Well, abang pertama
ku yang bernama Ikhwanushafa Djailani akhirnya menikah juga, dan sebagai adiknya,
Aku harus pulang.
Ada banyak kalimat yang dapat
kurangkai agar menjadi cerita-cerita yang kudapat dalam perjalanan ini. Minggu-minggu
ini memang meenyimpan banyak sekali kisah yang patut kutuliskan mulai dari peringatan
10 tahun Tsunami Aceh, behind the story
pernikahan abang Iwan, sampai dengan cerita-cerita musibah yang Kami alami
sepanjang dua pekan belakangan seperti pengalaman berjalan sepanjang pesisir
timur wlayah Aceh dan menyaksikan langsung salahsatu banjir terparah dalam beberapa tahun terakhir ini,
meninggalnya nenek(Makteuk) Kami satu-satunya di malam pernikahan abang Iwan, kemudian
di susul dengan meninggalnya nenek mertua abang Iwan di beberapa hari berikutnya
hingga tabrakan kecil iringan mobil Kami di perjalanan menuju tempat pernikahan
di Peureulak.
Namun, ada satu hal kuamati selama berada di kampung
tepatnya di desa Pu Lo Tu, keude Kampong
Blang Mangki, kecamatan Simpang Tiga, kabupaten Pidie. Hal tersebut adalah
sesuatu yang selama ini Aku tolak konsepnya. Baiklah, hal tersebut yang kuamati
adalah sebuah budaya di Aceh yang disebut dengan Samadiah.
Seorang gadis cilik berpose di depan gapura gampong Pulo Tu |
Secara singkat, Samadiah
ini adalah budaya zikir bersama yang diperuntukkan kepada orang meninggal
selama tujuh malam berturut-turut. Setelah zikir, biasanya keluarga yang ditinggalkan
akan menyediakan kue serta minum kepada orang-orang yang datang dan berzikir di
rumah penyelenggara. Bahkan, di malam terakhir, atau disebut dengan malam seunujoh(malam ke tujuh),
peserta zikir di
sediakan makanan nasi dan daging serta diberi uang saku secukupnya kepada setiap
orang yang datang pada malam terakhir tersebut.
Tentu saja itu adalah budaya, dan bukanlah sebuah ibadah
yang dicontohkan oleh nabi. Sebagai seorang terpelajar yang datang dari
keluarga yang terpengaruh ideologi Islam modern, tentu saja Aku menolaknya.
Namun, ada banyak alasan yang membuatku ragu akan penolakanku selama ini kalau
tidak mampu dikatakan bahwa Aku menerima budaya tersebut tetap berkembang dan
dilaksanakan di Aceh.
Selama tujuh hari tujuh malam itulah Aku menyaksikan sebuah
sistem kekerabatan masyarakat yang sangat ganjil namun mampu membuatku takjub.
Bayangkan, selama tujuh hari tujuh malam itu, Aku menyaksikan sekelompok orang
dengan menaiki motor atau mobil bak terbuka beramai-ramai datang silih berganti
melakukan Samadiah di rumah nenek
Kami. Bapak-bapak, ibu-ibu bahkan sampai yang muda-muda dan anak kecil
sekalipun.
Aku penasaran, lalu bertanya pada beberapa orang desa Kami yang
mengerti. Pertanyaanku kurang lebih :
“Desa Kita kecil, mengapa sepertinya sudah tiga hari tiga
malam ini orang yang datang Samadiah kok
banyak sekali, Mereka juga datang dengan motor dan mobil, padahal desa Kita
kecil sekali”
Jawaban yang kuterima adalah Mereka datang dari desa lain.
Bukan hanya desa tetangga, namun dari desa yang sangat jauh. Umumnya Mereka yang
datang adalah keluarga yang masih memiliki ikatan saudara dengan keluarga yang
ditinggalkan walaupun ikatan tersebut sudah samar dan tak dapat dikenali lagi.
Hal lain yang membuatku takjub adalah Mereka yang datang
‘jauh-jauh’ rela datang berpeluh-peluh padahal waktu yang Mereka habiskan di
rumah nenek Kami hanya sebentar saja. Setelah melakukan zikir, Mereka akan
menyantap kue penganan secara cepat, tidak berleha-leha dan tidak sempat
menikmati semua makanan dan minuman yang disediakan. Itu dibuktikan saat Aku melihat
idang(tempat diletakkannya berbagai
macam kue yang ukuran diameternya sebesar tangan orang dewasa) masih menyisakan
banyak sekali kue dan minuman. Hanya tiga menit, kira-kira sesingkat itu kesempatan
Mereka untuk makan.
Sementara, rombongan desa terjauh yang pernah kutanyakan
adalah dari salahsatu desa di kecamatan Tijue.
Bagi warga Yogyakarta, jarak antara desa Kami dengan desa tersebut adalah
seperti jarak antara jalan Malioboro ke jalan Seturan Raya(UPN Pusat). Bagi
warga Banda Aceh, jarak tersebut seperti antara masjid raya Baiturrahman ke Darussalam.
Kekerabatan di Gampong Pulo Tu |
Jarak tersebut jika di kota memang tidak terlalu jauh
apalagi jika menggunakan motor ataupun mobil pribadi. Namun beda situasinya di
desa, dengan keterbatasan dana, tingkat kemiskinan yang tinggi dan dengan
mengingat kegiatan yang dilakukan hanyalah berdo’a serta untuk mengisi perut dengan
waktu yang singkat, jarak tersebut dapat dikategorikan sebagai sebuah aktifitas
yang berat.
Di desa Kami, dan juga di tempat-tempat kegiatan Samadiah lain, pemuda-pemudi desa datang
secara sukarelawan untuk membantu. Bagi gadis-gadis, Mereka datang untuk memasak
dan mengatur idang. Sementara bagi
laki-laki, Mereka mengatur tempat duduk para pezikir dan mendistribusikan idang dengan rapi dan memastikan semua
tamu mendapatkan makanan dan minuman secara adil. Sikap sukarelawan ini pula
yang kuanggap menakjubkan yang datang dari sistem Samadiah ini.
Kekerabatan ini lah yang membuatku ragu akan ‘keharaman’ Samadiah ini. Apalagi Aku mendengar bahwa
ada sebuah keluarga di desa Kami yang kehabisan berasnya tepat sehari sebelum Samadiah di rumah nenek Kami di
selenggarakan. Keluarga itu datang dari keluarga miskin. Beras yang digunakan
beberapa waktu yang lalu juga adalah hasil dari pinjaman uang kepada orang-orang
yang Mereka kenal di desa. Singkatnya, Mereka dapat mengisi perut Mereka dan anak-anak Mereka karena Samadiah di rumah nenek Kami. Aku yakin kasus ini juga banyak terjadi di keluarga-keluarga lain di seluruh desa yang ada di Aceh. Dan Samadiah serta budaya-budaya kuno Aceh lainnya (dengan izin Allah)menyelamatkan Mereka.
yang Mereka kenal di desa. Singkatnya, Mereka dapat mengisi perut Mereka dan anak-anak Mereka karena Samadiah di rumah nenek Kami. Aku yakin kasus ini juga banyak terjadi di keluarga-keluarga lain di seluruh desa yang ada di Aceh. Dan Samadiah serta budaya-budaya kuno Aceh lainnya (dengan izin Allah)menyelamatkan Mereka.
0 comments: