Dalam Dekapan Tanah Air
Di atas Jakarta yang memeluk malam dengan lampu-lampu megahnya, malaikat maut melayang. Sayap hitamnya membentang, mata kosongnya mengawasi hiruk-pikuk manusia yang seolah tak menyadari bahwa hidup mereka, seperti hidup semua makhluk, akan berujung pada kehampaan. Ia mengingat titah Tuhan: megathrust. Gempa besar itu akan menjadi penutup buku waktu bagi kota ini. Jakarta, dengan kekayaan yang dikhianati, dengan manusia yang lebih sibuk membangun gedung daripada menjaga akar, sudah melewati batas toleransi.
Namun, di sela angin yang menggoyang sayapnya, muncul sosok lain. Sayapnya putih seperti kabut fajar, wajahnya tenang dan tersenyum lembut. Malaikat rahmat telah datang, membawa keheningan yang tidak kalah menggentarkan. Ia menatap maut, lalu berbicara dengan nada yang lebih seperti tanya daripada perintah.
“Yakin mau menjatuhkan bala itu?”
Malaikat maut mendengus. “Kau tahu ke mana semua ini akan berujung,” katanya dingin. “Kehidupan akan berhenti. Setiap nyala bintang akan redup, setiap makhluk akan lenyap, dan alam semesta akan membeku dalam kehampaan. Semua ini hanya soal waktu.”
Rahmat tersenyum kecil, melayang mendekat. “Tapi jika semua akan berakhir, apa yang membuat manusia tetap bertahan untuk menjaga, mencintai, dan merawat bumi ini? Mengapa mereka melestarikan, sementara mereka tahu semuanya akan menjadi debu?”
Maut menatap Rahmat dengan sorot tajam, penuh keraguan. “Apa maksudmu?” tanyanya dengan suara yang menusuk, mencampur antara ketidaktahuan dan keheranan. “Bukankah manusia di bawah sana hanya peduli dengan membangun dan membangun saja? Mereka menumpuk gedung tinggi, mengebor perut bumi, dan mencemari udara tanpa henti. Apa yang kau lihat sebagai 'merawat'? Semua yang mereka lakukan hanya membuktikan bahwa mereka tak menghiraukan karunia alam yang sudah diberikan. Jadi, jelaskan kepadaku—apa yang sebenarnya kau maksud?”
Rahmat melayang lebih dekat, matanya seperti menembus kabut prasangka maut. Ia tersenyum lembut, tetapi sorot matanya penuh dengan keyakinan. “Coba lihat Panglima Laot di Aceh,” ujarnya, sambil mengangkat tangannya seolah menunjuk jauh ke arah barat. “Mereka mengatur praktik perikanan dengan bijak, melarang aktivitas melaut pada hari-hari tertentu. Bukan untuk keuntungan pribadi, tapi demi regenerasi ikan, demi keseimbangan ekosistem laut yang telah memberi mereka hidup. Itu bukan bentuk perlawanan pada kehancuran, menurutmu?”
Ia berhenti sejenak, lalu melanjutkan, “Atau lihat masyarakat Bali. Setiap tahun mereka menjalani upacara Nyepi. Satu hari penuh dalam kesunyian, tidak hanya untuk manusia, tetapi untuk memberi jeda bagi alam. Sebuah hari di mana suara mesin berhenti, lampu-lampu padam, dan bumi diberi ruang untuk bernapas kembali. Itu bukan bentuk penghormatan terhadap bumi?”
Rahmat mengangguk ke arah selatan, seolah melihat jauh melewati cakrawala. “Dan masyarakat Baduy di Banten, dengan tradisi pikukuh mereka—hidup sederhana, tanpa merusak alam, tanpa mencemari tanah yang mereka pijak. Atau suku Ammatoa Kajang di Sulawesi, yang dengan filosofi pasang ri kajang menjaga hutan mereka seperti menjaga nyawa. Ada pula tradisi sasi di Maluku, yang melindungi laut, hutan, dan hasil alam dengan aturan adat yang diwariskan turun-temurun. Dan di Flores, mereka memiliki praktik ngadu yang mengajarkan keseimbangan dan tanggung jawab dalam menggunakan sumber daya alam.”
Maut menghela napas, meski napasnya tak menghasilkan uap atau kehangatan. Ia menatap Rahmat dengan tatapan penuh skeptisisme, seperti seorang hakim yang mendengar pembelaan terlalu idealis. “Ah,” katanya dengan nada rendah, namun sarat kepastian. “Itu hanya segelintir saja. Mereka yang kau sebut penjaga, yang kau banggakan dengan tradisi-tradisi kecil mereka, hanyalah pengecualian. Mayoritas manusia telah memilih jalan lain—jalan kerakusan, eksploitasi tanpa akhir, dan penghancuran. Kau tahu itu, Rahmat.”
Ia melayang mendekat, suaranya menjadi lebih tajam. “Dan bahkan penjaga-penjaga kecil itu, jika diberi kekuasaan yang sama seperti mereka yang berkuasa sekarang, mereka pun akan jatuh dalam dosa yang sama. Mereka akan menguras laut, menebang hutan, dan menggali perut bumi tanpa henti. Keinginan itu ada dalam setiap hati manusia—keinginan untuk mengambil, lebih banyak, dan lebih cepat, hingga tak ada yang tersisa.”
Rahmat menggeleng pelan, matanya tetap lembut, tetapi ada kilatan keyakinan di sana. “Mungkin kau benar tentang mayoritas, Maut,” katanya, suaranya tetap tenang. “Namun tidakkah kau lihat, justru itulah yang membuat manusia begitu menarik? Mereka adalah satu-satunya makhluk yang cukup cerdas untuk memahami dunia di sekitarnya, untuk mempelajari alam, dan bahkan meniru keajaibannya. Mereka mempelajari cara kerja panas bumi dan menerapkannya pada mesin uap. Mereka takut pada petir, namun berhasil menjinakkannya menjadi listrik. Mereka terpesona oleh keajaiban mata, lalu menciptakan kamera untuk menirunya.”
Rahmat melanjutkan, nadanya kini berubah menjadi reflektif, seolah ia berbicara tidak hanya kepada Maut, tetapi juga kepada alam semesta itu sendiri. “Namun, Maut, dengan kecerdasan itu datang sebuah kutukan: kesadaran bahwa segala sesuatu di alam ini, termasuk mereka sendiri, pada akhirnya akan berakhir menjadi debu. Ini bukan hanya pengetahuan; ini adalah beban. Kutukan dan karunia pengetahuan itu membuat manusia terus bergulat dengan makna hidup mereka. Dalam pergulatan itu, muncul dua jenis manusia. Ada yang menerima kefanaan dunia ini sebagai alasan untuk mengeksploitasinya habis-habisan, seperti yang kau katakan. Tapi ada juga mereka yang melihat kefanaan itu sebagai alasan untuk memperbaiki, merawat, dan menghormati dunia yang telah memberi mereka segalanya.”
Rahmat berhenti, memberi ruang bagi kata-katanya untuk tenggelam dalam keheningan. Ia menatap maut, senyum kecil tersungging di wajahnya. “Dan di antara kedua jalan itu, manusia menegaskan pilihannya. Menjadi penghancur, atau menjadi penjaga. Bukankah kau, Maut, lebih suka memberi mereka kesempatan untuk membuat pilihan itu, daripada memaksakan kehancuran kepada mereka yang mungkin belum selesai memilih?”
Maut termenung sejenak, seperti sedang memproses kata-kata yang baru saja didengarnya. “Pilihan,” gumamnya akhirnya. “Apa gunanya pilihan, jika pada akhirnya mereka semua akan menjadi debu? Jika kefanaan itu tidak dapat dihindari, apakah tidak lebih baik aku menyelesaikannya sekarang, tanpa membuang waktu?”
Rahmat tersenyum, kali ini penuh dengan kehangatan, seperti fajar yang baru merekah. “Justru karena mereka tahu mereka akan menjadi debu, Maut. Justru karena itu. Dari kefanaan itulah, makna hidup muncul. Bukankah itu yang membuat manusia begitu istimewa? Mereka bukan hanya hidup untuk bertahan. Mereka hidup untuk memilih bagaimana mereka bertahan, bagaimana mereka meninggalkan dunia—sebagai penghancur, atau sebagai penjaga.”
Maut mendengus, suaranya seperti gemuruh jauh di langit yang tak berbintang. “Memilih, kau katakan?” ujarnya dengan nada sarkastis. “Mana? Mana yang kau bilang memilih? Semua yang kulihat hanyalah mereka yang mengeksploitasi apa yang seharusnya mereka jaga. Hutan digunduli, laut dihisap isinya, tanah diperas habis-habisan. Sepertinya mereka semua memilih untuk menghancurkan saja.”
Rahmat tak langsung menjawab. Ia tetap melayang dengan tenang, seperti angin yang tahu caranya berbisik di sela keangkuhan gunung. “Ada kok,” katanya lembut, dengan senyum yang tak pernah goyah. “Yayasan Kehati namanya.”
Maut menoleh dengan alis terangkat. “Yayasan Kehati? Apa itu lagi, salah satu upaya kecil-kecilan yang akan terhapus juga oleh tamak manusia lainnya?”
Rahmat mengangguk, matanya penuh keyakinan. “Yayasan ini lahir dari buah pikiran seorang penguasa yang dulu pernah memimpin negeri ini. Setelah turun dari tampuk kekuasaan, ia memilih untuk memusatkan perhatian pada kelestarian ekosistem alam. Tidak hanya berbicara, mereka bertindak. Salah satu hasil mereka adalah Indeks SRI-KEHATI, sebuah indeks yang mengajak perusahaan-perusahaan untuk mematuhi isu lingkungan, untuk menanamkan keberlanjutan dalam inti bisnis mereka. Indeks itu bukan hanya simbol; ia adalah kompas moral yang menunjukkan bahwa bisnis besar pun dapat berubah arah—dari penghancuran menjadi pelestarian.”
Rahmat melanjutkan, kali ini dengan sorot mata yang tajam namun lembut. “Apakah ini solusi akhir? Tentu tidak. Tapi tidakkah itu menunjukkan bahwa ada yang memilih jalan berbeda? Bahwa bahkan di dalam struktur kekuasaan yang sering kau anggap sumber kehancuran, masih ada jiwa-jiwa yang memilih menjadi penjaga, bukan penghancur?”
Maut terdiam sejenak, tak segera memberikan tanggapan. Pandangannya beralih ke Jakarta yang berpendar di bawah mereka, lampu-lampu kota tampak seperti noktah kecil di tengah kegelapan malam. Entah kenapa, kali ini ia merasa bahwa Rahmat tidak sedang mencoba memenangkan perdebatan. Rahmat hanya sedang mengingatkannya, bahwa di antara kerumunan yang tampak homogen, ada cahaya kecil yang memilih untuk tidak ikut terbakar.
Namun, Maut bukan makhluk yang mudah goyah. Ia memutar tubuhnya menghadap Rahmat. “Yayasan, indeks... itu hanya sedikit saja. Segelintir. Apa itu cukup untuk menyelamatkan semuanya?” tanyanya, suaranya seperti pisau yang menguji kekuatan argumen Rahmat.
Rahmat tersenyum kecil, tak tergoyahkan oleh skeptisisme Maut. Ia melipat tangan di depan dada, matanya berkilau penuh keyakinan. “Sedikit, katamu? Baiklah, mari kita lihat lebih dekat apa yang sudah dilakukan oleh Yayasan Kehati. Mungkin setelah ini, kau akan berpikir dua kali sebelum meremehkan pilihan manusia.”
Ia mengarahkan pandangannya ke bawah, seolah menatap jauh ke dalam riwayat bumi dan perjuangan manusia. “Tahukah kau, Maut, bahwa Yayasan Kehati bukan hanya soal indeks SRI-KEHATI? Mereka juga menginisiasi berbagai program konservasi yang menjangkau hingga pelosok negeri. Salah satunya adalah upaya mereka melestarikan keanekaragaman hayati di wilayah-wilayah kritis seperti Papua, Kalimantan, dan Sumatera—tempat-tempat di mana spesies langka seperti burung cenderawasih, orangutan, dan harimau Sumatera hampir kehilangan rumah mereka. Mereka tidak hanya bicara; mereka bekerja dengan masyarakat adat untuk melindungi hutan dan satwa liar.”
Rahmat melangkah lebih dekat, nadanya kini lebih serius. “Dan tahu apa yang lebih menarik, Maut? Mereka tidak bekerja sendirian. Yayasan Kehati menggandeng komunitas lokal, akademisi, dan bahkan perusahaan-perusahaan untuk membangun program-program berbasis keberlanjutan. Program seperti Dana Kehati, misalnya, menggalang sumber daya finansial yang didedikasikan sepenuhnya untuk mendukung pelestarian lingkungan. Itu adalah cara mereka menunjukkan bahwa peduli pada bumi tidak hanya tugas para aktivis, tetapi tanggung jawab semua pihak—dari masyarakat kecil hingga korporasi besar.”
Maut terlihat ingin membantah, tetapi Rahmat melanjutkan sebelum ada celah untuk berbicara. “Dan jangan lupa, Maut. Mereka juga mengembangkan apa yang disebut dengan Pustaka KEHATI, sebuah upaya monumental untuk mendokumentasikan dan menyebarluaskan informasi tentang keanekaragaman hayati Indonesia. Ini bukan hanya tentang data; ini tentang pendidikan. Mereka ingin generasi berikutnya tahu bahwa mereka tidak hanya mewarisi masalah, tetapi juga peluang untuk melindungi sesuatu yang jauh lebih besar dari diri mereka sendiri.”
Rahmat menatap tajam, tetapi tetap dengan kelembutan yang sulit diabaikan. “Bukan hanya itu. Yayasan Kehati telah membangun hubungan dengan ribuan petani kecil, mengajarkan mereka praktik pertanian yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. Mereka tidak hanya memberikan harapan pada alam, tetapi juga pada manusia. Melalui program seperti itu, mereka menunjukkan bahwa menjaga alam dan meningkatkan kesejahteraan bisa berjalan beriringan.”
Ia berhenti sejenak, memberi waktu agar kata-katanya meresap dalam heningnya malam. “Jadi, katakan lagi, Maut—masihkah kau berpikir bahwa semua manusia memilih untuk menghancurkan? Atau mungkin kau mulai melihat bahwa ada cukup banyak yang memilih jalan penjaga, meskipun mereka melakukannya tanpa gemerlap, tanpa menginginkan pengakuan?”
Maut terdiam. Rahmat bisa melihat bayang keraguan di mata dinginnya. “Kau tahu, Maut,” Rahmat berkata dengan senyum penuh arti, “sering kali perubahan besar dimulai dari langkah kecil. Jika kau melihat dengan mata yang lebih jernih, kau akan menemukan bahwa penjaga itu lebih banyak daripada yang kau kira. Dan mereka layak diberi kesempatan.”
Maut terdiam lama, menatap jauh ke bawah, ke Jakarta yang tetap bergeliat dalam kelamnya malam. Lampu-lampu kota menyala seperti ribuan bintang di bawah kaki mereka, seolah memohon pengampunan kepada langit. Namun, mata Maut tak hanya menangkap keindahan cahaya itu; ia juga melihat bayang-bayang keserakahan, jejak-jejak kesalahan manusia yang begitu nyata.
“Rahmat,” katanya akhirnya, dengan suara yang lebih tenang namun masih mengandung keraguan. “Kau bicara tentang penjaga, tentang upaya kecil yang kau bilang cukup untuk mengubah segalanya. Tapi bagaimana jika semua itu hanya sia-sia? Bagaimana jika kehancuran adalah satu-satunya jalan untuk membawa keadilan pada dunia ini?”
Rahmat tak langsung menjawab. Ia hanya memandang Maut dengan tatapan lembut, seolah menyampaikan pesan tanpa kata. Perlahan, ia menoleh ke arah bumi, tangannya terulur, seperti mengingatkan Maut pada hal-hal yang mungkin terlewat dari pandangannya.
“Dengarkan,” bisik Rahmat, suaranya nyaris tak terdengar di antara hembusan angin malam. “Tanah air ini bukan sekadar daratan dan lautan. Ia adalah rumah—tempat di mana manusia belajar, gagal, dan mencoba lagi. Mereka yang memilih jalan penjaga, meskipun sedikit, adalah mereka yang membuktikan bahwa rumah ini masih punya arti. Tuhan telah menanamkan rahmat dalam hati mereka, meski sering tersembunyi di balik kebisingan dan kekacauan. Bukankah kita, sebagai utusan-Nya, harus memberi mereka ruang untuk terus memilih?”
Maut tetap diam. Ia tahu bahwa segala argumen Rahmat bersandar pada satu hal: harapan. Harapan bahwa manusia bisa berubah. Harapan bahwa penjaga akan tumbuh lebih banyak dari penghancur. Dan di dalam dirinya, Maut tahu bahwa keputusan itu bukan miliknya. Ia hanya pembawa titah, bukan pemberi keputusan.
Lalu, sesuatu terjadi—bukan suara, bukan perintah, tetapi sebuah keheningan yang begitu dalam, begitu sakral, seperti tarikan napas alam semesta itu sendiri. Rahmat tersenyum tipis, seperti merasakan sesuatu yang hanya bisa ia pahami. Ia memandang Maut, matanya penuh keyakinan.
“Tuhan telah memutuskan,” katanya lembut. “Kau tahu apa artinya itu.”
Maut menarik napas panjang, atau sesuatu yang menyerupai itu. Ia tahu benar apa arti keheningan itu. Titah megathrust yang dibawanya kini terasa pudar, seolah larut dalam kehendak yang lebih besar. Ia melipat sayap hitamnya, lalu memandang Rahmat untuk terakhir kali malam itu. “Baik,” katanya dingin, tetapi dengan nada yang mengakui kekalahan. “Mereka punya waktu. Tapi jangan salah sangka, Rahmat. Aku akan kembali jika mereka menyia-nyiakan kesempatan ini.”
Rahmat hanya tersenyum, lalu menoleh ke arah bumi yang kini tampak lebih damai. “Dalam dekapan tanah air, selalu ada ruang bagi manusia untuk menemukan jalan mereka kembali,” katanya lembut, suaranya seolah menyatu dengan semilir angin. “Selama ada harapan, tugas kita adalah memberi mereka kesempatan. Tuhanlah yang akan menentukan akhir cerita.”
Maut tak menjawab. Ia melayang menjauh, menghilang ke dalam pekat malam. Rahmat tetap tinggal, memandang Jakarta yang masih berdenyut di bawah langit. Dalam heningnya, ia merasakan bumi yang tetap hangat, tetap memeluk anak-anaknya, meski mereka sering lupa berterima kasih.
Tanah air ini mungkin telah lelah oleh tangan-tangan manusia, tetapi dalam dekapan hangatnya, selalu ada harapan untuk memperbaiki yang telah rusak. Dalam dekapan tanah air, manusia diajak memilih: menjadi penjaga, atau penghancur. Dan sementara harapan masih menyala, Rahmat tahu, Tuhan belum selesai dengan cerita ini.