Dalam Dekapan Tanah Air

Di atas Jakarta yang memeluk malam dengan lampu-lampu megahnya, malaikat maut melayang. Sayap hitamnya membentang, mata kosongnya mengawasi hiruk-pikuk manusia yang seolah tak menyadari bahwa hidup mereka, seperti hidup semua makhluk, akan berujung pada kehampaan. Ia mengingat titah Tuhan: megathrust. Gempa besar itu akan menjadi penutup buku waktu bagi kota ini. Jakarta, dengan kekayaan yang dikhianati, dengan manusia yang lebih sibuk membangun gedung daripada menjaga akar, sudah melewati batas toleransi.

Namun, di sela angin yang menggoyang sayapnya, muncul sosok lain. Sayapnya putih seperti kabut fajar, wajahnya tenang dan tersenyum lembut. Malaikat rahmat telah datang, membawa keheningan yang tidak kalah menggentarkan. Ia menatap maut, lalu berbicara dengan nada yang lebih seperti tanya daripada perintah.

“Yakin mau menjatuhkan bala itu?”

Malaikat maut mendengus. “Kau tahu ke mana semua ini akan berujung,” katanya dingin. “Kehidupan akan berhenti. Setiap nyala bintang akan redup, setiap makhluk akan lenyap, dan alam semesta akan membeku dalam kehampaan. Semua ini hanya soal waktu.”

Rahmat tersenyum kecil, melayang mendekat. “Tapi jika semua akan berakhir, apa yang membuat manusia tetap bertahan untuk menjaga, mencintai, dan merawat bumi ini? Mengapa mereka melestarikan, sementara mereka tahu semuanya akan menjadi debu?”

Maut menatap Rahmat dengan sorot tajam, penuh keraguan. “Apa maksudmu?” tanyanya dengan suara yang menusuk, mencampur antara ketidaktahuan dan keheranan. “Bukankah manusia di bawah sana hanya peduli dengan membangun dan membangun saja? Mereka menumpuk gedung tinggi, mengebor perut bumi, dan mencemari udara tanpa henti. Apa yang kau lihat sebagai 'merawat'? Semua yang mereka lakukan hanya membuktikan bahwa mereka tak menghiraukan karunia alam yang sudah diberikan. Jadi, jelaskan kepadaku—apa yang sebenarnya kau maksud?”

Rahmat melayang lebih dekat, matanya seperti menembus kabut prasangka maut. Ia tersenyum lembut, tetapi sorot matanya penuh dengan keyakinan. “Coba lihat Panglima Laot di Aceh,” ujarnya, sambil mengangkat tangannya seolah menunjuk jauh ke arah barat. “Mereka mengatur praktik perikanan dengan bijak, melarang aktivitas melaut pada hari-hari tertentu. Bukan untuk keuntungan pribadi, tapi demi regenerasi ikan, demi keseimbangan ekosistem laut yang telah memberi mereka hidup. Itu bukan bentuk perlawanan pada kehancuran, menurutmu?”

Ia berhenti sejenak, lalu melanjutkan, “Atau lihat masyarakat Bali. Setiap tahun mereka menjalani upacara Nyepi. Satu hari penuh dalam kesunyian, tidak hanya untuk manusia, tetapi untuk memberi jeda bagi alam. Sebuah hari di mana suara mesin berhenti, lampu-lampu padam, dan bumi diberi ruang untuk bernapas kembali. Itu bukan bentuk penghormatan terhadap bumi?”

Rahmat mengangguk ke arah selatan, seolah melihat jauh melewati cakrawala. “Dan masyarakat Baduy di Banten, dengan tradisi pikukuh mereka—hidup sederhana, tanpa merusak alam, tanpa mencemari tanah yang mereka pijak. Atau suku Ammatoa Kajang di Sulawesi, yang dengan filosofi pasang ri kajang menjaga hutan mereka seperti menjaga nyawa. Ada pula tradisi sasi di Maluku, yang melindungi laut, hutan, dan hasil alam dengan aturan adat yang diwariskan turun-temurun. Dan di Flores, mereka memiliki praktik ngadu yang mengajarkan keseimbangan dan tanggung jawab dalam menggunakan sumber daya alam.”

Maut menghela napas, meski napasnya tak menghasilkan uap atau kehangatan. Ia menatap Rahmat dengan tatapan penuh skeptisisme, seperti seorang hakim yang mendengar pembelaan terlalu idealis. “Ah,” katanya dengan nada rendah, namun sarat kepastian. “Itu hanya segelintir saja. Mereka yang kau sebut penjaga, yang kau banggakan dengan tradisi-tradisi kecil mereka, hanyalah pengecualian. Mayoritas manusia telah memilih jalan lain—jalan kerakusan, eksploitasi tanpa akhir, dan penghancuran. Kau tahu itu, Rahmat.”

Ia melayang mendekat, suaranya menjadi lebih tajam. “Dan bahkan penjaga-penjaga kecil itu, jika diberi kekuasaan yang sama seperti mereka yang berkuasa sekarang, mereka pun akan jatuh dalam dosa yang sama. Mereka akan menguras laut, menebang hutan, dan menggali perut bumi tanpa henti. Keinginan itu ada dalam setiap hati manusia—keinginan untuk mengambil, lebih banyak, dan lebih cepat, hingga tak ada yang tersisa.”

Rahmat menggeleng pelan, matanya tetap lembut, tetapi ada kilatan keyakinan di sana. “Mungkin kau benar tentang mayoritas, Maut,” katanya, suaranya tetap tenang. “Namun tidakkah kau lihat, justru itulah yang membuat manusia begitu menarik? Mereka adalah satu-satunya makhluk yang cukup cerdas untuk memahami dunia di sekitarnya, untuk mempelajari alam, dan bahkan meniru keajaibannya. Mereka mempelajari cara kerja panas bumi dan menerapkannya pada mesin uap. Mereka takut pada petir, namun berhasil menjinakkannya menjadi listrik. Mereka terpesona oleh keajaiban mata, lalu menciptakan kamera untuk menirunya.”

Rahmat melanjutkan, nadanya kini berubah menjadi reflektif, seolah ia berbicara tidak hanya kepada Maut, tetapi juga kepada alam semesta itu sendiri. “Namun, Maut, dengan kecerdasan itu datang sebuah kutukan: kesadaran bahwa segala sesuatu di alam ini, termasuk mereka sendiri, pada akhirnya akan berakhir menjadi debu. Ini bukan hanya pengetahuan; ini adalah beban. Kutukan dan karunia pengetahuan itu membuat manusia terus bergulat dengan makna hidup mereka. Dalam pergulatan itu, muncul dua jenis manusia. Ada yang menerima kefanaan dunia ini sebagai alasan untuk mengeksploitasinya habis-habisan, seperti yang kau katakan. Tapi ada juga mereka yang melihat kefanaan itu sebagai alasan untuk memperbaiki, merawat, dan menghormati dunia yang telah memberi mereka segalanya.”

Rahmat berhenti, memberi ruang bagi kata-katanya untuk tenggelam dalam keheningan. Ia menatap maut, senyum kecil tersungging di wajahnya. “Dan di antara kedua jalan itu, manusia menegaskan pilihannya. Menjadi penghancur, atau menjadi penjaga. Bukankah kau, Maut, lebih suka memberi mereka kesempatan untuk membuat pilihan itu, daripada memaksakan kehancuran kepada mereka yang mungkin belum selesai memilih?”

Maut termenung sejenak, seperti sedang memproses kata-kata yang baru saja didengarnya. “Pilihan,” gumamnya akhirnya. “Apa gunanya pilihan, jika pada akhirnya mereka semua akan menjadi debu? Jika kefanaan itu tidak dapat dihindari, apakah tidak lebih baik aku menyelesaikannya sekarang, tanpa membuang waktu?”

Rahmat tersenyum, kali ini penuh dengan kehangatan, seperti fajar yang baru merekah. “Justru karena mereka tahu mereka akan menjadi debu, Maut. Justru karena itu. Dari kefanaan itulah, makna hidup muncul. Bukankah itu yang membuat manusia begitu istimewa? Mereka bukan hanya hidup untuk bertahan. Mereka hidup untuk memilih bagaimana mereka bertahan, bagaimana mereka meninggalkan dunia—sebagai penghancur, atau sebagai penjaga.”

Maut mendengus, suaranya seperti gemuruh jauh di langit yang tak berbintang. “Memilih, kau katakan?” ujarnya dengan nada sarkastis. “Mana? Mana yang kau bilang memilih? Semua yang kulihat hanyalah mereka yang mengeksploitasi apa yang seharusnya mereka jaga. Hutan digunduli, laut dihisap isinya, tanah diperas habis-habisan. Sepertinya mereka semua memilih untuk menghancurkan saja.”

Rahmat tak langsung menjawab. Ia tetap melayang dengan tenang, seperti angin yang tahu caranya berbisik di sela keangkuhan gunung. “Ada kok,” katanya lembut, dengan senyum yang tak pernah goyah. “Yayasan Kehati namanya.”

Maut menoleh dengan alis terangkat. “Yayasan Kehati? Apa itu lagi, salah satu upaya kecil-kecilan yang akan terhapus juga oleh tamak manusia lainnya?”

Rahmat mengangguk, matanya penuh keyakinan. “Yayasan ini lahir dari buah pikiran seorang penguasa yang dulu pernah memimpin negeri ini. Setelah turun dari tampuk kekuasaan, ia memilih untuk memusatkan perhatian pada kelestarian ekosistem alam. Tidak hanya berbicara, mereka bertindak. Salah satu hasil mereka adalah Indeks SRI-KEHATI, sebuah indeks yang mengajak perusahaan-perusahaan untuk mematuhi isu lingkungan, untuk menanamkan keberlanjutan dalam inti bisnis mereka. Indeks itu bukan hanya simbol; ia adalah kompas moral yang menunjukkan bahwa bisnis besar pun dapat berubah arah—dari penghancuran menjadi pelestarian.”

Rahmat melanjutkan, kali ini dengan sorot mata yang tajam namun lembut. “Apakah ini solusi akhir? Tentu tidak. Tapi tidakkah itu menunjukkan bahwa ada yang memilih jalan berbeda? Bahwa bahkan di dalam struktur kekuasaan yang sering kau anggap sumber kehancuran, masih ada jiwa-jiwa yang memilih menjadi penjaga, bukan penghancur?”

Maut terdiam sejenak, tak segera memberikan tanggapan. Pandangannya beralih ke Jakarta yang berpendar di bawah mereka, lampu-lampu kota tampak seperti noktah kecil di tengah kegelapan malam. Entah kenapa, kali ini ia merasa bahwa Rahmat tidak sedang mencoba memenangkan perdebatan. Rahmat hanya sedang mengingatkannya, bahwa di antara kerumunan yang tampak homogen, ada cahaya kecil yang memilih untuk tidak ikut terbakar.

Namun, Maut bukan makhluk yang mudah goyah. Ia memutar tubuhnya menghadap Rahmat. “Yayasan, indeks... itu hanya sedikit saja. Segelintir. Apa itu cukup untuk menyelamatkan semuanya?” tanyanya, suaranya seperti pisau yang menguji kekuatan argumen Rahmat.

Rahmat tersenyum kecil, tak tergoyahkan oleh skeptisisme Maut. Ia melipat tangan di depan dada, matanya berkilau penuh keyakinan. “Sedikit, katamu? Baiklah, mari kita lihat lebih dekat apa yang sudah dilakukan oleh Yayasan Kehati. Mungkin setelah ini, kau akan berpikir dua kali sebelum meremehkan pilihan manusia.”

Ia mengarahkan pandangannya ke bawah, seolah menatap jauh ke dalam riwayat bumi dan perjuangan manusia. “Tahukah kau, Maut, bahwa Yayasan Kehati bukan hanya soal indeks SRI-KEHATI? Mereka juga menginisiasi berbagai program konservasi yang menjangkau hingga pelosok negeri. Salah satunya adalah upaya mereka melestarikan keanekaragaman hayati di wilayah-wilayah kritis seperti Papua, Kalimantan, dan Sumatera—tempat-tempat di mana spesies langka seperti burung cenderawasih, orangutan, dan harimau Sumatera hampir kehilangan rumah mereka. Mereka tidak hanya bicara; mereka bekerja dengan masyarakat adat untuk melindungi hutan dan satwa liar.”

Rahmat melangkah lebih dekat, nadanya kini lebih serius. “Dan tahu apa yang lebih menarik, Maut? Mereka tidak bekerja sendirian. Yayasan Kehati menggandeng komunitas lokal, akademisi, dan bahkan perusahaan-perusahaan untuk membangun program-program berbasis keberlanjutan. Program seperti Dana Kehati, misalnya, menggalang sumber daya finansial yang didedikasikan sepenuhnya untuk mendukung pelestarian lingkungan. Itu adalah cara mereka menunjukkan bahwa peduli pada bumi tidak hanya tugas para aktivis, tetapi tanggung jawab semua pihak—dari masyarakat kecil hingga korporasi besar.”

Maut terlihat ingin membantah, tetapi Rahmat melanjutkan sebelum ada celah untuk berbicara. “Dan jangan lupa, Maut. Mereka juga mengembangkan apa yang disebut dengan Pustaka KEHATI, sebuah upaya monumental untuk mendokumentasikan dan menyebarluaskan informasi tentang keanekaragaman hayati Indonesia. Ini bukan hanya tentang data; ini tentang pendidikan. Mereka ingin generasi berikutnya tahu bahwa mereka tidak hanya mewarisi masalah, tetapi juga peluang untuk melindungi sesuatu yang jauh lebih besar dari diri mereka sendiri.”

Rahmat menatap tajam, tetapi tetap dengan kelembutan yang sulit diabaikan. “Bukan hanya itu. Yayasan Kehati telah membangun hubungan dengan ribuan petani kecil, mengajarkan mereka praktik pertanian yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. Mereka tidak hanya memberikan harapan pada alam, tetapi juga pada manusia. Melalui program seperti itu, mereka menunjukkan bahwa menjaga alam dan meningkatkan kesejahteraan bisa berjalan beriringan.”

Ia berhenti sejenak, memberi waktu agar kata-katanya meresap dalam heningnya malam. “Jadi, katakan lagi, Maut—masihkah kau berpikir bahwa semua manusia memilih untuk menghancurkan? Atau mungkin kau mulai melihat bahwa ada cukup banyak yang memilih jalan penjaga, meskipun mereka melakukannya tanpa gemerlap, tanpa menginginkan pengakuan?”

Maut terdiam. Rahmat bisa melihat bayang keraguan di mata dinginnya. “Kau tahu, Maut,” Rahmat berkata dengan senyum penuh arti, “sering kali perubahan besar dimulai dari langkah kecil. Jika kau melihat dengan mata yang lebih jernih, kau akan menemukan bahwa penjaga itu lebih banyak daripada yang kau kira. Dan mereka layak diberi kesempatan.”

Maut terdiam lama, menatap jauh ke bawah, ke Jakarta yang tetap bergeliat dalam kelamnya malam. Lampu-lampu kota menyala seperti ribuan bintang di bawah kaki mereka, seolah memohon pengampunan kepada langit. Namun, mata Maut tak hanya menangkap keindahan cahaya itu; ia juga melihat bayang-bayang keserakahan, jejak-jejak kesalahan manusia yang begitu nyata.

“Rahmat,” katanya akhirnya, dengan suara yang lebih tenang namun masih mengandung keraguan. “Kau bicara tentang penjaga, tentang upaya kecil yang kau bilang cukup untuk mengubah segalanya. Tapi bagaimana jika semua itu hanya sia-sia? Bagaimana jika kehancuran adalah satu-satunya jalan untuk membawa keadilan pada dunia ini?”

Rahmat tak langsung menjawab. Ia hanya memandang Maut dengan tatapan lembut, seolah menyampaikan pesan tanpa kata. Perlahan, ia menoleh ke arah bumi, tangannya terulur, seperti mengingatkan Maut pada hal-hal yang mungkin terlewat dari pandangannya.

“Dengarkan,” bisik Rahmat, suaranya nyaris tak terdengar di antara hembusan angin malam. “Tanah air ini bukan sekadar daratan dan lautan. Ia adalah rumah—tempat di mana manusia belajar, gagal, dan mencoba lagi. Mereka yang memilih jalan penjaga, meskipun sedikit, adalah mereka yang membuktikan bahwa rumah ini masih punya arti. Tuhan telah menanamkan rahmat dalam hati mereka, meski sering tersembunyi di balik kebisingan dan kekacauan. Bukankah kita, sebagai utusan-Nya, harus memberi mereka ruang untuk terus memilih?”

Maut tetap diam. Ia tahu bahwa segala argumen Rahmat bersandar pada satu hal: harapan. Harapan bahwa manusia bisa berubah. Harapan bahwa penjaga akan tumbuh lebih banyak dari penghancur. Dan di dalam dirinya, Maut tahu bahwa keputusan itu bukan miliknya. Ia hanya pembawa titah, bukan pemberi keputusan.

Lalu, sesuatu terjadi—bukan suara, bukan perintah, tetapi sebuah keheningan yang begitu dalam, begitu sakral, seperti tarikan napas alam semesta itu sendiri. Rahmat tersenyum tipis, seperti merasakan sesuatu yang hanya bisa ia pahami. Ia memandang Maut, matanya penuh keyakinan.

“Tuhan telah memutuskan,” katanya lembut. “Kau tahu apa artinya itu.”

Maut menarik napas panjang, atau sesuatu yang menyerupai itu. Ia tahu benar apa arti keheningan itu. Titah megathrust yang dibawanya kini terasa pudar, seolah larut dalam kehendak yang lebih besar. Ia melipat sayap hitamnya, lalu memandang Rahmat untuk terakhir kali malam itu. “Baik,” katanya dingin, tetapi dengan nada yang mengakui kekalahan. “Mereka punya waktu. Tapi jangan salah sangka, Rahmat. Aku akan kembali jika mereka menyia-nyiakan kesempatan ini.”

Rahmat hanya tersenyum, lalu menoleh ke arah bumi yang kini tampak lebih damai. “Dalam dekapan tanah air, selalu ada ruang bagi manusia untuk menemukan jalan mereka kembali,” katanya lembut, suaranya seolah menyatu dengan semilir angin. “Selama ada harapan, tugas kita adalah memberi mereka kesempatan. Tuhanlah yang akan menentukan akhir cerita.”

Maut tak menjawab. Ia melayang menjauh, menghilang ke dalam pekat malam. Rahmat tetap tinggal, memandang Jakarta yang masih berdenyut di bawah langit. Dalam heningnya, ia merasakan bumi yang tetap hangat, tetap memeluk anak-anaknya, meski mereka sering lupa berterima kasih.

Tanah air ini mungkin telah lelah oleh tangan-tangan manusia, tetapi dalam dekapan hangatnya, selalu ada harapan untuk memperbaiki yang telah rusak. Dalam dekapan tanah air, manusia diajak memilih: menjadi penjaga, atau penghancur. Dan sementara harapan masih menyala, Rahmat tahu, Tuhan belum selesai dengan cerita ini.



Detak-detik lika liku sepanjang lorong altar ilmu Eropa (2): Teka-teki sulit bernama rezeki

    Sepertinya sudah tidak ada harapan lagi bagiku untuk bertahan disini di Belanda. Sudah beberapa bulan sejak menyandang gelar Master of Geo-Information Science, aku belum mendapatkan kerja. Puluhan lamaran kerja telah tersebar dan tetap saja nihil hasilnya.
    Tentu saja dengan mudahnya aku bisa pulang ke Indonesia, tebar pesona sebagai lulusan luar negeri dan menikmati hidup dengan tabungan Euro ku yang jika di konversikan ke rupiah bisa ongkang-ongkang kaki selama 5 tahun selagi menumpang di rumah orang tua. Atau bisa juga membuka usaha makanan di negeri dengan populasi manusia yang banyak itu, bekerja menjadi dosen di universitas lokal, atau sekadar menjadi pengajar bahasa inggris sambil mencoba-coba peruntungan menjadi Aparatur Sipil Negara (baca: PNS).
    Tapi ada satu yang mengganjal dalam fikiranku tentang semua kemungkinan-kemungkinan tersebut: jalannya sudah ketebak. Lah, bukannya itu justru lebih enak? Tidak bagiku, karena aku setuju dengan kata-kata Andrea Hirata dalam Edensor nya:

Aku mendamba kehidupan dengan kemungkinan-kemungkinan yang bereaksi satu sama lain seperti benturan molekul uranium: meletup tak terduga-duga, menyerap, mengikat, mengganda, berkembang, terurai, dan berpencar ke arah yang mengejutkan.
 
    Namun bagiku, pelaku utama nya adalah ustad Salim A. Fillah yang telah 'meracuniku' dengan sebuah sudut pandang unik dalam menjawab teka-teki sulit bernama rezeki. Rumus rezeki ustad Salim tentang rezeki itu lebih kurang seperti ini:

"Jika hakikat rezeki itu datang dari Allah yang Maha Kaya (Al-Ghaniyyu), dan jika dalam surat At-Talaq bahwa Allah menjanjikan rezeki akan datang dari arah yang tak disangka-sangka kepada orang yang bertaqwa, maka profesi yang sudah terjamin rezekinya setiap bulan itu tidak dianjurkan untuk ditapaki jalannya bagi mereka yang hendak merasakan cinta sepenuhnya dari Allah yang Maha Kaya tersebut"

Oleh karena itu, aku memutuskan untuk menetap. Dan benar saja, keputusan ini membawaku pada satu skenario Tuhan yang tak pernah kusangka. Salah satu keputusan terbaik yang pernah aku lakukan.

#    #    #

    Sejujurnya, ada beberapa perusahaan yang tertarik dengan profilku dan mengajak aku berproses ke tahapan selanjutnya. Yang menarik dari tahapan selanjutnya adalah bukan sesi wawancara, tapi sebuah tes kompetensi. Ini merupakan pengalaman pertama bagiku.
    Kesempatan pertama datang dari sebuah perusahaan penyedia informasi Coronavirus menggunakan data spasial. Mereka menghubungiku baru sejak tiga minggu dari hari kelulusanku. Perusahaan tersebut bernama Uppermoor BV yang berpusat di kota Utrecht. Mereka membuat peta persebaran kasus Covid-19 yang bisa dilihat disini: https://www.coronalocatie.nl.
Pengguna dapat melihat informasi persebaran Covid-19 sejauh 2,5 km dari lokasi yang dipilih dalam wilayah Belanda dalam seminggu terakhir di www.coronalocatie.nl
    
    Singkat cerita, Uppermoor BV mendapatkan 15 lamaran pekerjaan dari seluruh dunia dan salah satunya adalah aku. Dan mereka tertarik untuk memberikan kesempatan bagiku untuk menyelesaikan sebuah tes dengan studi kasus membuat layanan peta yang serupa, tapi untuk negara Jerman. Hmmm. Menarik. Kataku pada diriku sendiri: siapa takut?!
   Kami disediakan beberapa open data untuk membuat layanan peta seperti itu. Data pertama berisi tentang data harian kasus baru Covid-19 di setiap kota di Jerman. Data kedua berisi grid populasi jerman. Tugas yang diberikan adalah membuat peta heatmap yang dinamis yang dapat menunjukkan kontraksi persebaran Covid-19 selama 14 hari berturut-turut di bulan November 2020. Tantangannya adalah, ada data yang tidak diberikan dan dalam data data yang disediakan, ada data yang sengaja dihilangkan. Butuh 4 hari bagiku untuk menyelesaikan tugas yang diberikan mereka. Berikut hasil peta heatmap yang kukerjakan yang menunjukkan rata-rata kasus baru Covid-19 di Jerman mulai dari tanggal 1 sampai tanggal 15 November (Anda bisa melihat petanya perlahan berubah setiap tanggalnya): 
    Dan kabar baiknya, dari 15 pelamar dari seluruh dunia, hanya 3 (tiga) orang yang mengerjakan tugas yang diberikan. Oleh karena itu, Uppermoor B.V tertarik mewawancaraiku secara online. Aku senang bukan kepalang. Wawancara dilaksanakan dan aku bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka dengan bahasa inggris yang baik dan benar. Ada dua orang yang mewawancaraiku, satu anak muda, dan satu lagi sudah sesepuh. Mereka berdua ternyata alumni program master yang sama yang kuambil di kampusku. Anak muda itu ternyata mempunyai supervisor magang yang sama denganku dulu. Dan kalau si bapak yang sudah sesepuh itu, ternyata anaknya sekarang masih menempuh studi di kampus Wageningen. Tampaknya, aku tak perlu menunggu lama untuk mendapatkan pekerjaan yang layak, ya kan? Tidak!
    Jika saja aku diterima oleh Uppermoor B.V, tentu saja tidak ada tulisan ini haha. Sayangnya, dari 3 orang yang mengumpulkan tugas studi kasus yang diberikan, aku berada di peringkat ke-2. Wajar saja bagi mereka untuk mengambil satu yang terbaik saja, karena mereka adalah startup baru dan sedang merintis sebuah usaha baru. Pun begitu, mereka berjanji padaku di tiga bulan pertama pada tahun 2021, mereka akan menghubungiku lagi jika mereka memerlukan tenaga tambahan.
    Hampir saja aku mendapatkan kesempatan pertama, tapi tetap saja pada akhirnya: gagal!

#    #    #
    Beberapa kesempatan lain menghampiri ku, namun tidak ada satupun yang kudapatkan. Kebanyakan dari peluang-peluang tersebut tidak bisa kudapatkan karena mereka meminta syarat bisa berbahasa Belanda dengan fasih. Sebuah realitas yang dulu aku remehkan selama kuliah, dan sekarang kusesali. Sesungguhnya karakteristik bahasa Belanda cukup dekat dengan bahasa Indonesia dalam hal pengucapan dan kosakata. Ini membuat orang Indonesia mudah sekali mempelajari bahasa Belanda dibandingkan orang-orang Yunani, Italia dan Afrika. Namun, beban kuliah yang kuhadapi selama berada di Wageningen membuatku tak sempat untuk mengikuti les bahasa Belanda yang diajarkan secara gratis di kampus. Dan aku mengambil kesempatan tersebut pas setelah semua kewajiban-kewajiban kuliah kupenuhi. Setelah mengikuti kursus bahasa Belanda selama 2 bulan lebih, aku baru percaya diri mencantumkan dalam CV ku bahwa aku mampu mengadakan dialog dengan bahasa Belanda. Beginner, begitu lah level kemampuan bahasa Belanda yang kutulis. Dan ternyata hal itu membuka satu-satunya peluang bagiku mengecap pengalaman bekerja secara profesional di Belanda dalam waktu yang tersisa.
    Adalah Geo-ICT Training Center The Netherlands yang tertarik dengan lamaran pekerjaan yang kukirim kepada mereka. Sebenarnya, beberapa bulan lalu, aku sudah beberapa kali mengirimkan lamaran pekerjaan yang sama yaitu sebagai posisi trainee di perusahaan mereka. Namun tak ada jawaban selanjutnya dari mereka. Mungkin kualifikasi level beginner Dutch - ku yang baru kumasukkan kedalam CV ku itu lah yang membuat mereka sekarang akhirnya tertarik padaku.
    Benar saja. Aku diundang dalam panggilan video call dengan Anton, nama bos dari perusahaan tersebut. Dan kalimat pertama yang ia tanyakan padaku setelah halo, adalah Hoe gaat heet?. Apa kabarmu? Tentu aku pun menjawab sesuai arahan dalam kelas bahasa Belanda ku: Ik het goed. En jij? Aku baik-baik saja. Bagaimana denganmu?
    Setelah itu Anton bertanya -masih dalam bahasa Belanda- beberapa pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang diriku yang aku pun masih bisa menjawab nya dengan baik, walaupun terbata-bata. Baru ketika ia menyemburkan pertanyaan-pertanyaan yang lebih kompleks, aku tak bisa menjawabnya. Ia pun mengubah wawancara nya dalam bahasa inggris. Intinya, ia tertarik pada CV ku dan ia punya ide menarik untuk mengekspansi layanan perusahaannya ke negaraku: Indonesia. Dan ia mau mengundangku untuk melakukan brainstorming di kantornya di sebuah kota bernama Apeldoorn. Aku mengiyakan undangannya. Video call kami sudahi. Kututup webcam yang ada di laptopku, dan aku pun melompat-lompat girang.
    Aku pun berangkat ke Apeldoorn satu minggu setelah video call tersebut. Aku berangkat bersama Rivan Rinaldi (sekarang sudah MSc), teman satu tingkat dibawahku di WUR. Kantor Geo-ICT tak jauh dari stasiun centraal nya kereta api dan bus kota Apeldoorn. Pun begitu, sesampai di kota tersebut, kami menyewa dua sepeda OV-Fiets. Kami akan menggunakannya untuk jalan-jalan mengelilingi Apeldoorn nanti setelah sesi brainstorming selesai.  
    Aku datang 30 menit lebih awal dari jadwal yang ditentukan. Setelah menunggu beberapa saat di ruang tamu, aku pun dipersilahkan masuk kedalam sebuah ruangan. Disana aku bertemu dengan Anton, serta Thijmen, seorang pria kepercayaan Anton. Aku memperkenalkan diriku sebagai Jack, agar mereka lebih mudah memanggilku, daripada mereka bingung dengan nama Arab ku yang panjang.
    Sebenarnya, ada dua orang Indonesia yang diundang dalam sesi brainstorming kali ini. Aku datang pertama. Dan kami punya waktu 30 menit sebelum sesi resmi dimulai. Sambil menunggu waktu tersebut dan menunggu satu orang Indonesia lain yang belum datang, kami pun berbicara santai seputar kuliahku dan kegiatanku saat ini. Aku pun menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka. Salah satu nya dengan menginformasikan pada mereka bahwa aku sekarang juga terlibat dalam sebuah startup rintisan ku dan temanku yang berfokus pada pertanian berkesinambungan di Indonesia bernama Arconesia. Anton sepertinya tertarik dengan ceritaku. Ia bahkan mempersilahkanku menunjukkan daerah operasi kami melalui layar besar yang ada diruangan tersebut. Aku tak segan menggunakannya dan menceritakan setiap nilai filosofis yang kami pegang serta istilah-istilah teknis lainnya. Diskusi berjalan hangat sampai jam menunjukkan sesi brainstorming kami pun sudah sampai pada waktunya. Satu kandidat yang lain tidak datang juga. Kami pun memulai tanpa dia.
    Seperti yang kami bicarakan tempo hari pada video call, Anton membeberkan rencana perusahaannya di Indonesia. Lalu ia bertanya pendapatku. Tentu saja aku menjawab dengan mengatakan bahwa Indonesia adalah pasar digital terbesar di Asia Tenggara dan salah satu yang terbesar di dunia. Pengguna internet yang kebanyakannya mengakses melalui telepon genggam juga merupakan yang terbesar di dunia. Ini mengindikasikan bahwa apapun yang dapat dijual secara digital di Indonesia, pasti akan ada yang membeli. Tak terkecuali Geo-ICT. Oh iya, Geo-ICT ini adalah perusahaan yang menyediakan layanan kelas-kelas serta kursus-kursus di bidang GIS, Remote Sensing, Surveying, dan ilmu geografi secara umum lainnya.
    Diskusi berjalan dengan hangat. Mereka bertanya, aku menjawab. Beberapa kali pun aku bertanya tentang kapasitas mereka, serta apa harapan mereka tentang Geo-ICT Indonesia nantinya. Tak terasa 1 jam sudah kami berdiskusi. Aku menutup laptopku, dan bersiap-siap keluar dari kantor tersebut. Sebelum aku keluar, Anton memujiku dengan mengatakan bahwa bahasa Inggris ku sangat baik sehingga ia yang sudah tua pun masih bisa mengerti apapun yang aku ucapkan. Aku terbang setinggi langit. Pujian itu adalah sebuah hadiah yang sangat berharga bagiku, karena di tahun pertama di WUR, bahasa Inggris ku seringkali tak dimengerti oleh teman-teman Belandaku sendiri yang jauh lebih muda dari Anton. Hari ini, Anton mem-validasi bahwa aku telah berproses dengan baik dan memenuhi kualifikasi untuk bekerja secara profesional  dalam lingkungan multikultural di sebuah perusahaan di negara maju.
    Benar saja, seminggu kemudian aku dihubungi kembali oleh Anton. Sebelum finalisasi kontrak, Anton mempersilahkan aku untuk mengikuti sebuah kelas yang ditawarkan oleh Geo-ICT, yaitu kelas AutoCAD. Keikutsertaanku pada dasarnya untuk membuatku familiar pada layanan yang diberikan oleh perusahaan yang nantinya dapat aku terapkan pada Geo-ICT cabang Indonesia. Aku pun dengan senang hati menerima tawaran tersebut.
   Setelah menyelesaikan kelas tersebut, aku pun dipanggil lagi oleh Anton ke kantor. Ia mengajakku ke sebuah restoran di pinggir kota Apeldoorn dengan mengendarai mobil listrik kepunyaannya. Aku terkesima dengan mobilnya yang memiliki fitur kamera di belakang sehingga ia tak perlu menoleh ketika memundurkan mobilnya. Mobilnya pun berjalan tanpa mengeluarkan suara bising.
   Di restoran tersebut, kami berbicara panjang lebar lagi tentang strategi-strategi yang perlu dilakukan pertama sekali ketika memulai Geo-ICT Indonesia. Untungnya, aku sudah memikirkan itu terlebih dahulu dalam perjalanan kereta api ke Apeldoorn. Akupun membeberkan strategi yang kufikirkan. Aku juga menjelaskan analisis kompetitor pada Anton dan peluang-peluang model bisnis yang masih kosong dalam sektor ini. Anton terkesima denganku dan ia pun menjelaskan setiap persyaratan legalitas yang harus kulalui dan kumiliki, dan ia akhirnya berbicara gaji. Lagi-lagi aku yang terkesima dan excited.
   Kami kembali ke kantor. Anton kemudian menyerahkan kontrak yang harus ku tandatangani. Aku menandatangani kontrak tersebut dengan hati yang berbunga-bunga dan kekhawatiran apakah aku dapat menjalankan peran ini atau tidak. Saat kutanya pada Anton apa kira-kira gelar yang dapat aku pakai untuk kugunakan pada profil Linkedin ku agar dapat juga kugunakan untuk berkomunikasi secara lugas dengan partner bisnis, Anton menjawab:
Director Geo-ICT Indonesia.
Aku pun tersenyum lega. Inilah rezeki yang datang dari arah yang tak terduga seperti janji Allah pada surat At-Thalaq ayat 3.

Detak-detik lika liku sepanjang lorong altar ilmu Eropa (1): Ketidaktahuan

*Tulisan ini ditulis pada 28 November 2019, tapi baru kali ini sempat di publish

Lama nian rasanya tidak memamerkan kebodohan diri melalui media blog ini. Bukanlah karena tak tersisa lagi kebodohan diri ini yang hendak dipamerkan, melainkan waktu yang tak mengizinkan, membuat diri ini kembali berkotemplasi: bilakah kita tersadar bahwa manusia tak bernilai apa-apa jika dihadapkan dengan "waktu".

Namun, kebodohan dan kesalahan yang pernah kucoba lakukan dalam ruang-ruang waktu di masa laluku telah membawaku ke salah satu mimpi sekaligus ketakutan terbesar dalam hidupku:
Mencecap wawasan di altar ilmu pengetahuan di benua Eropa.


Beberapa buah manisnya memang jelas terasa: melihat dunia, berkenalan dengan dunia dan budaya baru, serta mencicip kebijaksanaan peradaban-peradaban lalu berbagai bangsa dunia.

Namun susah payah yang getir tak sedikit yang tereguk jua.

Bolehlah rasanya bilamana kita mengangguk setuju pada kutipan kata bijak berikut:
Apa yang kamu saksikan, tergantung pada posisi dimana kamu berdiri.
(C.S. Lewis dalam The Chronicles of Narnia).

Sudah tak terhitung lagi berapa kali telinga ini mengembang bagai balon kala mendengar orang memuji bahwa kesempatan menjejak kaki ke Eropa, adalah salah satu bentuk tertinggi kesuksesan dunia.

Ternyata eh ternyata, niscaya tak sedikit pula yang akan mengatakan tidak. Eropa dengan segala keindahannya memang menawarkan banyak kenikmatan, namun pada saat yang bersamaan juga ia membenturkan realitas yang sangat kentara bagi diri ini:

K-i-t-a     t-e-l-a-h     t-e-r-t-i-n-g-g-a-l 




Singkat cerita, setahun lah diri ini telah menghirup udara bersih dan dingin Eropa. Aku tinggal di sebuah kota kecil nan modern bernama Wageningen, 80 kilometer dari Amsterdam si ibukota Belanda. Saat ini, aku sedang menyusuri satu dari dua lorong terakhir dalam masa studi masterku. Sebuah lorong yang penting tapi pada saat yang bersamaan juga gelap, sepi, menakutkan, serta krusial. Lorong itu bernama:
Tesis.

Satu lorong terakhir lainnya bernama: Internship (baca: magang).

Setelah tiga bulan menulis proposal tesis, perasaan tertinggal yang nyata itu semakin jelas terasa dalam pikiranku. Tiga bulan bukanlah durasi yang normal untuk menulis sebuah proposal, kawannn.... 

"Tidak bagi topik penelitian yang sesimpel ini," kata tiga supervisor ku. Ya, aku punya tiga supervisor (baca: pembimbing). Pembimbing pertama adalah salah satu dari hanya dua profesor yang ada di fakultas ku. Bayangkan bagaimana perasaanmu di kritik oleh profesor yang limited edition di fakultas mu. Apa boleh dikata, aku pun mengakui, sadar dan setuju dengan argumen itu.

Pergulatanku dengan ketidaktahuanku sendiri sebenarnya sudah berlangsung selama setahun terakhir ini. Sudah tak terhitung lagi berapa kali aku menundukkan serta menggeleng-gelengkan kepala, sesekali menghela nafas yang sangat panjang saat aku melangkahkan kaki keluar dari kelas setelah menghadiri sesi-sesi kuliah dalam bahasa Inggris ber aksen Belanda yang kental, dan tak satupun yang aku benar-benar mengerti. Awalnya aku merasa hanya diri ini yang merasakan hal serupa. Namun ternyata kebanyakan teman-teman Indonesia ku juga merasakan hal yang sama. Pada momen-momen seperti itu, terbetik dalam fikiranku: kita perlu membenahi kurikulum bahasa Inggris kita di sekolah, pesantren, dan di ruang-ruang publik.

Gagal dan Gagal Lagi
Selama setahun ini, aku telah gagal dalam tiga mata kuliah. Bahkan salah satu dari mata kuliah itu, aku harus mengikuti ujian ulangannya sebanyak empat kali.

Empat kali!

Berkat rahmat dan iradat - Nya, aku berhasil membuat dosen-dosenku terpaska meluluskan semua mata kuliahku tepat waktu sebelum tahun kedua dimulai, meninggalkanku dengan perasaan bahwa aku sudah tertinggal jauh, tidak faham sepenuhnya dan merasa yang paling bodoh.

Tapi waktu terus berjalan dan proses-proses harus tetap di jalani. Hingga tibalah pada saatnya aku harus memilih topik tesis. Berkaca pada performa studiku selama setahun kebelakang, aku pun membuat sebuah strategi: hindarilah topik tesis yang berkaitan dengan Remote Sensing (terjemahan: Penginderaan Jarak Jauh), yaitu mata kuliah yang aku harus mengulang empat kali itu. Hindari juga topik tesis yang berkaitan dengan pertanian, walau fakta berkata bahwa kampus Wageningen ini adalah kampus nomor 1 bidang pertanian di dunia. Sekali lagi: nomor 1 di dunia!!!

Strategiku terbukti ampuh, ternyata ada banyak topik tesis diluar sana. dan aku akhirnya memilih topik tesis yang berkaitan dengan pemrograman (karena latar belakang sarjana ku di bidang informatika), dengan studi area di kawasan perkotaan (baca: urban context). Aku mengambil proyek dari dosen, serta mengundurkan diri dari kesempatan mengajukan topik tesis sendiri.

Awalnya aku punya kesempatan yang sangat besar untuk mengajukan topik tesisku sendiri. Itu dikarenakan beberapa waktu sebelum batas waktu pemilihan topik tesis, aku berhasil menembus sebuah konferensi international di Inggris bernama ISIC PPI UK 2019 dengan menggunakan artikel ilmiahku dengan topik: penilaian infrastruktur data spasial di Indonesia. Boleh dibaca artikel tersebut di tautan berikut ini. Seorang dosen menawariku untuk memperluas cakupan artikel ilmiahku tersebut agar bisa diajukan sebagai sebuah topik tesis. Tapi singkat cerita aku lebih memilih topik lain yang lebih menantang.

Gayung bersambut, ada satu topik yang menarik perhatianku. Lebih beruntung lagi, algoritma yang digunakan adalah algoritma yang familiar dengannku. Aku pernah menggunakannya dulu saat menyelesaikan skripsi sarjanaku: algoritma K-Means clustering.

Naifnya diriku, ternyata setelah menulis naskah proposal tesisku yang pertama, ternyata tidak semudah itu. Tak kusangka pada akhirnya aku harus mengulang-ulang tulisan itu hingga 10 kali revisi untuk pada akhirnya bisa dikirim kepada pengulas (reviewer). Sebagai info, di kampus Wageningen ini, setiap chair group (semacam fakultas di Indonesia), dibebaskan untuk membuat sistem akademisnya sendiri. Didalam chair group ku, mahasiswa tak perlu mempresentasikan proposal tesis masternya, tidak seperti chair group lain yang mewajibkan hal tersebut. Bagiku, setiap mahasiswa hanya perlu menulis proposalnya dengan detil dan komprehensif lalu proposal tersebut akan dikirimkan kepada beberapa pengulas yang berasal dari lingkungan akademik chair group kami sendiri. Jika pengulas menganggap proposal seorang mahasiswa cukup dimengerti dan logis, mereka akan memberi lampu hijau. Itu berarti silahkan tesisnya di eksekusi sesegera mungkin. Sebaliknya jika belum cukup jelas, maka mereka akan mengembalikan proposal tersebut kepada mahasiswa untuk diperbaiki. Sedikit catatan, identitas para pengulas tersebut juga dirahasiakan dari mahasiswa. Mahasiswa mengirimkan proposal tersebut kepada study advisor (semacam guru pembimbing), lalu study advisor akan mengirim proposal tersebut kepada para pengulas. Dan apabila proposal belum cukup jelas dan belum cukup logis untuk mendapat lampu hijau, maka para pengulas justru akan memberi masukan (feedback) kepada supervisor (pembimbing tesis), bukan langsung kepada mahasiswa. Yang berarti bahwa para pengulas menganggap pembimbing tesis belum sepenuhnya benar dalam membimbing mahasiswa tersebut.

Naasnya dari tiga pengulas yang memeriksa proposal tesisku, satu pengulas memberi status No Go bagi proposalku, dengan dua pengulas lainnya memberi nilai 'cukup'. Aku pun memperbaiki proposalku dalam semalam dan kemudian bertemu dengan satu pengulas yang menolak proposalku tersebut. Setelah berdiskusi serta seolah-olah mengkonfirmasi beberapa bagian dari proposalku yang menurutku salah ia mengerti, akhirnya ia dengan sedikit terpaksa setuju dengan proposalku dan memberi status:
GO!

Begitulah kisah sekira 16 bulan pertamaku mencecap ilmu di altar ilmu pengetahuan Eropa, dibentur oleh ekspektasi akademik Belanda yang tinggi, dan terseok-seok bertahan dari ketidaktahuan dan kebingungan.

Tapi berkaca kebelakang pula, dikala perpisahan dengan keluarga di bandara Banda Aceh, hati ini tak karuan. Cemas, memikirkan apakah aku bisa? Bagaimana nanti jika gagal? Apa yang terjadi jika tak selesai kuliah? Apakah nanti ada teman? Adakah yang mau berteman dengan diri ini? Siapakah yang akan menjadi pelipur lara ketika tantangan menerjang?

Pertanyaan-pertanyaan itu seringkali muncul dan bertambah, namun tetap ada satu pesan Tuhan yang selalu diri ini pegang:

لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا وُسْعَهَا

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya (Al-Baqarah: 186).


Berikut merupakan foto perpisahan kami sekeluarga dulu dan aku masih tetap berdiri tegar disini (berkat do'a keluarga, berkah dan iradah dari Tuhan yang Maha Kuasa):


























Amsterdam kota penuh dosa?

Sudah lama tak menulis di blog.
Mari memulai lagi tulisan perdana di tahun 2019 ini dengan beberapa foto instastory tentang Amsterdam si kota penuh dosa.





















(8) Darussalam to 'Darussalam' : Payung Listrik dan Persatuan Kita

    Sejak bulan September 2017 yang lalu, saya sudah menetap di Banda Aceh selama dua bulan. Saat pulang, proyek mega perluasan dan pengembangan Masjid Raya Baiturrahman yang sangat ditunggu-tunggu masyarakat Aceh baru saja selesai. Tentu saja banyak yang mengajak untuk ke masjid raya untuk sekedar mengabadikan momen di bawah payung listrik baru yang fenomenal itu. Namun, baru satu hari setelah pengumuman kelulusan LPDP pada tanggal 26 Oktober 2017, saya sempat mengunjunginya.
   Ada perasaan haru yang menusuk dalam, yang saya rasakan saat pertama kali menginjakkan kaki melihat pelataran parkir underground yang rapi. Kemudian memasuki toilet dan tempat wudhu yang bersih dan nyaman. Berjalan disepanjang koridor indah, menaiki eskalator dan tentu saja berteduh dibawah payung elektrik yang megah. Sejenak saya merasakan atmosfir masjid-masjid di Malaysia dan sekelebat lagi membandingkannya dengan kemegahan masjid raya Istiqlal di Jakarta. Haru, bukan karena kemegahannya, tapi karena baru kali ini rakyat Aceh baru bisa menikmati ini. Padahal sungguh negeri sangat subur, masyarakatnya sangat baik tapi dunia sangat kejam, bahkan saudara sendiripun tak sanggup menahan nafsunya menggerogoti tanah indah nan subur ini.
   Saya adalah generasi yang pernah merasakan haru biru berkumpul dengan sanak keluarga di taman depan masjid raya itu, sambil menyantap makanan lalu sesekali memberikan potongan-potongan kecil makanan itu kepada ikan-ikan besar yang berenang meloncat-loncat di dalam kolam. Dan perasaan haru itu kembali lagi menjadi-jadi ketika saya melihat ibu-ibu dengan keluarganya melakukan hal yang sama, namun kali ini bukan duduk ditaman melainkan di bawah keteduhan payung elektrik yang berharga puluhan milyar rupiah itu. Bukan dimasa lalu yang dimana nanggroe masih dicabik-cabik oleh konflik dan ketidakmenentuan masa depan, melainkan di masa sekarang saat dana otsus (otonomi khusus) membanjiri Aceh dan optimisme terpancar di wajah-wajah masyarakat Aceh sekarang. Haru sekali rasanya.
   Saya membayangkan, seandainya kami tidak pernah terseret dalam arus konflik di tahun 1970-an atau sejak pemberontakan DI/TII atau bahkan sejak Belanda menyatakan perang pada tahun 1873, bisa jadi masjid yang megah seperti ini tidak berdiri hanya satu saja. Melainkan puluhan, 30 puluhan lebih di seluruh Aceh. Jika saja sumber gas terbesar di dunia yang ditemukan di Arun pada tahun 1972 dulu itu benar-benar dikembalikan kepada rakyat Aceh, maka masjid ini akan lebih mewah dari ini. Bahkan fasilitas dan amenitas yang menunjang kesejahteraan masyarakat akan lebih daripada ini. Perang benar-benar telah membuat bangsa Aceh terpuruk, mundur puluhan tahun kebelakang.
#   #   #
  Lalu saya menemukan jawaban mengapa bangsa Aceh bisa seperti ini. Tidak jauh dari payung elektrik yang viral itu, tepatnya di dalam masjid raya baiturrahman ini sendiri, faktor yang menyebabkan kemunduran kami tampak jelas sekali dalam satu keteledoran kecil yang detil sekali : kerapatan shaf.
     Saat melihat bapak-bapak dengan baju lusuh (mungkin mereka adalah masyarakat Aceh di kampung yang ingin datang melihat kemegahan masjid raya), anak-anak muda dengan wajah sumringah ingin menjalankan ketaatan beribadah dalam negeri syariat serta kaum hawa yang anggun berkelompok di shaf belakang, saya tetiba teringat dengan foto para pemimpin kami yang dalam shalat idul adha 1437 H beberapa waktu lalu, mempertontonkan ketidakakraban mereka yang tampak dari kerenggangan shaf shalat mereka. Sepanjang shalat, saya tidak bisa mencapai derajat khusyuk  paripurna dikarenakan asyik menggerutu  setelah mengetahui mengapa dana otsus terbesar di Indonesia yang digelontorkan sejak 12 tahun lalu masih belum mampu melengserkan rangking kemiskinan kita dari peringkat nomor satu di Sumatera dan nomor dua di Indonesia adalah dikarenakan pemimpin-pemimpin kami yang tidak bisa menyampingkan egonya masing-masing yang berakibat meulhoo keudroe-droe (saling berkelahi), padahal musuh nyata kita adalah kemiskinan dan ketidakadilan. Dan perilaku itu berimbas kepada masyarakat karena pemimpin adalah role model bagi masyarakat.


Sumber : http://aceh.tribunnews.com/2016/09/14/netizen-kritik-shaf-shalat-pemimpin-aceh-yang-saling-berjauhan
   "Rapikan shaf-shaf kalian ... ", begitu salah satu sabda beliau yang sangat terpuji tentang keutamaan shaf dalam Hr. Abu Dawud no.662, "Demi Allah, kalian merapikan shaf kalian, atau kalau tidak maka Allah akan menjadikan perselisihan diantara hati kalian."
   Senada dengan itu pula, rasul juga menekankan pesan persatuan yang sangat penting dalam tubuh umat muslim melalui shalat berjamaah. Beliau bersabda,
"Tidaklah tiga orang di suatu desa atau lembah yang tidak didirikan shalat berjamaah di lingkungan mereka, melainkan setan telah menguasai mereka. Karena itu tetaplah kalian (shalat) berjamaah, karena sesungguhnya srigala itu hanya akan menerkam kambing yang sendirian (jauh dari kawan-kawannya).” (HR. Abu Daud no. 547, An-Nasai no. 838, dan sanadnya dinyatakan hasan oleh An-Nawawi dalam Riyadh Ash-Shalihin no. 344).
   Berbicara tentang persatuan di Aceh memang sulit karena Aceh telah terkoyak oleh perang sejak seratus tahun yang lalu. Tapi dari sejarah pula kita belajar bahwa setiap upaya untuk bersatu melawan segala bentuk penjajahan, disitu kita melihat secercah cahaya. Pun kita bisa saja tidak dapat menikmati indahnya cahaya persatuan tersebut dengan mata kepala kita sendiri, namun semoga dapat menjadi hadiah terbaik bagi anak-anak dan cucu-cucu kita nantinya. Sama seperti payung elektrik dan kemegahan masjid raya baiturrahman ini yang tidak sempat disaksikan oleh para pahlawan kita. Sejatinya ini semua berangkat dari pekikan Teuku Umar, disambung heroisme Cut Nyak Dhien, disambut oleh seruan Tengku Daud Beureueh dan diakhiri oleh ijtihad Hasan Tiro. Mereka semua adalah pahlawan yang melawan penjajahan dan penyeru persatuan demi tegaknya syariat islam di Aceh, tapi tak pernah sempat melihat masyarakat Aceh yang kini teduh duduk dibawah payung elektrik.
   Sekarang mari bertanya pada diri, apakah payung elektrik ini hanya pantas digunakan untuk berteduh diri, atau sebagai simbol persatuan kita yang berteduh bersama dibawahnya untuk melaksanakan perlawanan terhadap segala bentuk penjajahan yang masih saja merajalela. Untuk menjawab ini, mari melihat gambar dibawah ini :
Sumber : http://portalsatu.com/read/ekbis/penduduk-miskin-aceh-tertinggi-di-sumatera-31903

MENYONGSONG GENERASI LANGIT BIRU KIDS JAMAN NOW

Guys¸ sadar gak sih kalo kota-kota di Indonesia kualitas udaranya buruk bahkan merusak kesehatan? Lihat saja laporan dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) di tahun 2016 yang menempatkan Jakarta dan Bandung sebagai bagian dari sepuluh kota dengan pencemaran udara terburuk di Asia Tenggara.

Makanya jangan heran deh, banyak kids jaman now yang hidup di kota-kota besar dengan mudah sekali terkena sakit kepala dan iritasi saluran pernapasan. Faktor lain mungkin kebanyakan makan micin kali ya. Hehe. Kalo dibiarkan lama-lama begini, bisa-bisa menyebabkan penyakit kronis mulai dari kanker paru-paru, penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), jantung, stroke, hingga kematian dini. Hiiiii, serem!
Guess what! Tau gak siapa dalang utama dari pencemaran udara di lingkungan kita? Eng Ing Eng .... Yap, benar sekali! Tak lain dan tak bukan, sumber utamanya adalah komponen gas dan partikel yang di hasilkan oleh kendaraan bermotor. Terus, solusinya bagaimana dong? Jangan naik sepeda motor dan mobil lagi? Ide bagus sih, tapi itu mustahil guys. Transportasi bermotor kan ibarat nyawa bagi masyarakat Indonesia. So, mustahil menghilangkan kebiasaan masyarakat Indonesia untuk naik motor dan mobil. Salah satu solusi bertahap yang bisa dilakukan adalah dengan meminimalkan dampak buruk yang dihasilkan oleh bahan bakar yang digunakan oleh kendaraan bermotor tersebut.
Nah, itulah salah satu fungsi dari perusahaan energi negara Indonesia yang bernama Pertamina. Om-om dan tante-tante di perusahaan ini capek mikirin gimana caranya meningkatkan mobilitas kids jaman now yang super kreatif semakin tinggi, namun kualitas udara di kota kita juga semakin membaik. Sudah pada tau belum kalo upaya ini sedang dilaksanakan? Kalo belum, ayo kita simak bersama-sama.

PLBC
Ketika kamu datang ke Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU), perhatiin gak sih kalo kamu sebenarnya diberikan beberapa pilihan mau membeli Bahan Bakar Minyak (BBM) yang mana? Mulai dari yang murah sampai yang mahal. Bahkan, masyarakat diberi kebebasan untuk memilih SPBU yang variatif pula, baik kepunyaan negeri sendiri maupun SPBU dari perusahaan negara lain, dengan variasi harga yang berbeda pula. Kok beda-beda ya? Jawabannya adalah karena setiap BBM yang ditawarkan tersebut memiliki tingkat oktan yang berbeda-beda.
Oktan sendiri adalah senyawa kimia yang menentukan kualitas sebuah tipe bahan bakar (bensin). Semakin tinggi angka oktan suatu jenis BBM, semakin baik bagi mesin kendaraan dan semakin kecil pula dampak buruk yang dikeluarkan melalui sistem pembuangan kendaraan bagi lingkungan. Nilai oktan sebuah BBM disebut RON (Research Octane Number). Lazimnya masyarakat mengetahui BBM jenis premium (RON 88), pertalite (RON 90), pertamax (RON 92) dan pertamax plus (95). Oh iya, satu lagi : semakin tinggi nilai oktan suatu jenis BBM, berimbas pada semakin tinggi pula harganya. Hehe.

Sayangnya, tidak semudah itu membuat BBM ber oktan tinggi (HOMC). Konsumsi BBM yang banyak digunakan oleh masyarakat selama ini adalah BBM premium. Namun, kualitas BBM premium ini sudah ketinggalan zaman serta tidak ramah lingkungan. Pemerintah sendiri melalui Pertamina sebenarnya mampu memproduksi BBM berkualitas seperti pertamax. Namun sayangnya, kilang-kilang Pertamina di seluruh negeri belum bisa memenuhi permintaan pasar dalam negeri. Belum lagi mengingat laju konsumsi rata-rata BBM nasional terus meningkat sebesar 4% per tahun maka jadilah sebagian dari permintaan BBM pertamax ini harus diimpor dari luar negeri. Kalo sudah diimpor, ya jelas menelan dana yang sangat banyak. Sayang banget, padahal Indonesia adalah negeri kolam susu yang tenggelam dalam sumber energi, eh kok masih harus menggantungkan kedaulatan energinya pada bangsa lain. Ugh... Geram banget kan.
Tapi don’t worry lagi, be happy lah, karena Pertamina telah mengupayakan kualitas udara kita menjadi lebih baik yang diproyeksikan melalui Proyek Langit Biru Cilacap (PLBC). Proyek pertamina ini bertujuan untuk mengupdate kualitas BBM kita dengan cara memproduksi bensin dengan nilai oktan yang tinggi sehingga lingkungan Indonesia semakin baik. PLBC sendiri diproyeksikan dapat meningkatkan BBM beroktan tinggi berkualitas setara EURO IV, standar emisi Uni Eropa. Dengan demikian, devisa negara yang terbakar percuma untuk membeli BBM impor, dapat dipergunakan untuk sektor lain, misalkan memberikan beasiswa kepada blogger-blogger kere seperti saya. hehe
Untk menjaga visi Pertamina sebagai World Clas Energy Company, PLBC juga mempunyai peran penting karena menjadi salah satu mata rantai bisnis hilir Pertamina. PLBC diproyeksikan akan mampu menambah produksi BBM yang sebelumnya hanya 41 juta KL menjadi 66,7 KL setiap tahunnya. Pun begitu, PLBC tidak serta merta mampu menghilangkan kebutuhan impor BBM ber oktan tinggi (HOMC). Oleh karenanya, diversifikasi pemakaian bensin masih diperlukan yaitu dengan cara meningkatkan pemakaian BBG oleh masyarakat/kendaraan umum.

Kesehatan versus Keuangan
Well, pada akhirnya kita sebagai generasi kids jaman now harus sadar bahwa selain micin, ternyata ada banyak hal lain yang bisa membuat kita mati mendadak. Salah satunya adalah udara yang kita hirup ini. Jujur aja, kita memang lebih memilih produk-produk murah bahkan gratis sekalipun. Tapi, apa salahnya mengeluarkan dana lebih besar untuk memiliki produk yang ramah lingkungan dan pada akhirnya tidak membahayakan kesehatan. Begitu juga dengan pemerintah melalui Pertamina nya, produksilah BBM yang berkualitas meskipun menelan banyak dana. Toh kalo udah sakit, tentu dana yang dikeluarkan lebih banyak kan? Mikir! (Kalo kata Cak Lontong). Salam lemper.

SABANG MAU SAMPAI KAPAN?



Tau gak guys
di tahun 2000 yang lampau, cuma ada 674 juta wisatawan di seluruh dunia. Bayangin nih, tahun 2015 angka ini naik jadi 1,2 miliarrrrrr. Figur ini akan terus naik menjadi 1,8 miliar jiwa pada 2030 nanti. Sekarang aja nih ya, satu dari tujuh orang di dunia adalah pelancong internasional.
Untuk Sabang yang dikenal eksotis nan gemulai, ini merupakan angka cantik yang dinanti-nantikan kedatangannya. Pasti banyak deh yang mau ke Sabang, apalagi setelah enam negara membentuk Coral Triangle Initiatives (CTI) atau lebih dikenal dengan nama Kawasan Segitiga Terumbu Karang Dunia. CTI sendiri katanya, punya potensi keuntungan sebesar 58 miliar dolar Amerika dengan 5,3 juta pekerjaan terpenuhi. Wowww! Angka ini diperkirakan akan meningkat tajam dalam 10 tahun mendatang.
                Masalahnya, pariwisata ibarat dua sisi mata pisau. Di satu sisi ia memberikan pemasukan yang gede buanget untuk negara dan daerah. Di sisi lain, pariwisata mengancam nilai-nilai kultur serta ekosistem setempat. Nah, oleh karena itu Sabang harus punya visi yang jelas untuk menjadi destinasi wisata bahari internasional tapi berkelanjutan hingga 100 tahun mendatang.

Pariwisata Bahari Berkelanjutan
                Pariwisata gak selalu ninggalin bekas yang destruktif kok. Sustainable tourism (pariwisata berkelanjutan) contohnya, adalah salah satu model pariwisata yang ngajakin turis turut andil terlibat dalam konservasi lingkungan. Misalkan ya, turis diajak untuk ikut terlibat dalam penanaman 1000 pohon. Bule-bule itu juga bisa diajak untuk terlibat dalam pelepasan kura-kura dan penyu ke pantai. Inilah sustainable tourism yang dibutuhkan Sabang saat ini.
Memang banyak sih yang skeptis dengan model pariwisata seperti ini. Itu karena model kayak gini butuh dana yang gak sedikit, perlu usaha besar dan melalui proses yang panjang. Tapi ya gak juga sih. Awareness terhadap gerakan pariwisata yang ramah lingkungan seperti ini semakin tenar dikalangan para pelancong internasional. Mereka gak segan merogoh kocek dalam-dalam asalkan tetap bisa menikmati perjalanan kelas wahid tanpa menyakiti bumi. Hal ini diperkuat dengan keputusan PBB yang memprioritaskan pola konservasi dalam aktivitas pariwisata dunia di tahun 2017. So, jangan takut deh memperkenalkan Sabang sebagai destinasi wisata bahari dunia yang ramah lingkungan.
                Mungkin banyak yang gak tau ya, kalo Aceh itu punya keistimewaan untuk memproduksi undang-undangnya sendiri. Namanya bukan undang-undang, tapi Qanun. Ini apa namanya kalo bukan sebuah kesempatan besar bagi kita untuk ‘merdeka’ menentukan sikap dalam mengembangkan industri pariwisata kita sendiri? Benar kan?
                Bikin aja semacam Qanun yang memerintahkan penggunaan plastik seminimal mungkin. Sekalian juga larang pembangunan fisik pariwisata yang merusak alam dan situs-situs bersejarah. Jangan lupa berdayakan komunitas lokal dengan mempekerjakan mereka dalam posisi-posisi strategis di daerah mereka sendiri serta kedepankan produk-produk lokal untuk dibeli oleh para pelancong. Mudah kan?
                Kalo ada kapal pesiar yang mau merapat ke Sabang, jangan beri izin untuk kapal-kapal yang tidak ada scrubber di kapalnya. Scrubber adalah sebuah mesin yang melenyapkan hampir semua sulfur dioxide yang merusak lingkungan laut yang keluar dari pembuangan kapal-kapal pesiar tersebut. Dengan begitu, kapal siar dari seluruh dunia dapat berlabuh ke Sabang tanpa meninggalkan jejak destruktif yang kita takutkan tadi. Pokoke, Jangan sampai terumbu karang di Sabang rusak oleh kapal-kapal pesiar ini seperti yang terjadi baru-baru ini di Raja Ampat. Ribet urusannya nanti.
                Dengan keistimewaan Qanun ini, Sabang harus punya kesadaran penuh bahwa yang memiliki kewenangan penuh untuk memberi kapal-kapal pesiar itu adalah kita sendiri. Akan lebih baik jika Sabang hanya memberi lampu hijau bagi kapal pesiar yang telah tersertifikasi sustainable saja. Sertifikat ini penting banget karena kita bisa tau kapal mana saja yang hanya menggunakan bahan makanan dari pemasok ikan yang tidak menggunakan ikan-ikan yang terancam punah. Ini adalah bentuk sempurna dari model pariwisata yang berkelanjutan.
                Untuk hotel, selain harus ramah terhadap muslim dan sesuai iklim syariat islam Aceh, Sabang juga perlu menekankan peraturan ramah lingkungan bagi hotel-hotel di Sabang. Misalkan pihak manajemen hotel harus memasang kepala shower yang aliran airnya tidak boros, penggunaan barang-barang yang bisa di recycle dan kebijakan-kebijakan lainnya yang pro lingkungan.
Untuk program tur, Sabang bisa menawarkan program conservation travel dalam setiap trip ke Sabang. Program ini menitikberatkan pada pelestarian habitat laut Sabang, sehingga setiap turis yang datang diberi kesadaran untuk memberi insentif lebih untuk perawatan lingkungan sekitar.
                Sabang juga bisa menjadi destinasi ekowisata dengan menawarkan destinasi wisata di dalam Hutan Lindung Gapang dan sekitarnya. Dengan keragaman hayati dan ekosistem yang besar, ekowisata juga bisa menarik minat para akademisi dan ahli biologi seluruh dunia. Wisata semacam ini juga dapat menarik minat ahli kupu-kupu atau yang lazim disebut sebagai lepidoperist karena keanekaragaman kupu-kupu yang cukup menarik di dalam hutan lindung ini.

Sail Sabang 2017
                Sustainable tourism dapat berfungsi dua arah. Ia dapat memberi kesadaran tentang perlunya melestarikan lingkungan sekitar bagi para wisatawan. Dilain pihak, ia juga dapat mengetuk hati pemerintah untuk lebih memperhatikan aspek kelangsungan makhluk hidup di alam liar dibandingkan perkembangan fisik dan profit semata.
                Dengan agenda Sail Sabang 2017 yang merupakan bagian dari serial Sail Indonesia yang sudah berlangsung sejak tahun 2001, maka ini adalah satu momen penting untuk membangun kesadaran bersama tentang pentingnya keberlangsungan Sabang sebagai destinasi wisata bahari internasional. Sebelum menentukan arah model pariwisata kita melalui Sail Sabang 2017 ini, mari bersama-sama kita bertanya dulu : Sabang mau sampai kapan?